4. Pada Sekaleng Tancho
Aku terbangun oleh suara percakapan
orang-orang. Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 06.01. Tadi malam aku masuk
kamar hampir dini hari karena menunggu empat ekor penyu yang bertelur. Kukucek
mata yang masih terasa menyimpan kotoran dan segera bangkit menuju sumur di
samping rumah.
Kulihat Hazri sedang menggali lubang di dalam
bak pasir penetasan. Lubang itu untuk menanam lima belas persen telur penyu
dari keseluruhan yang behasil ia kumpulkan semalam. Sementara ayah menyusun
telur-telur lainnya di kotak kayu tak jauh dari Hazri. Telur yang disusun ayah
akan dijemput oleh orang Raja Bachrum dan diperdagangkan di Tarempa.
Saat melewati bapak beranak itu, aku
mendengar mereka membahas nelayan Negara tetangga yang bandal menangkap ikan di
perairan Indonesia dan tertangkap patroli laut. Hazri menghentikan pekerjaannya
saat aku melintas. Ia mengikuti sampai ke sumur, membilas tangannya yang
berlumur pasir lantas dengan gesit menimbakan air hingga memenuhi ember-ember.
“Makasih.”
“Pekerjaan rutin, tak payah ucap terima
kasih.”
“Anggap saja aku sedang melestarikan
kebiasaan baik.”
Hazri menatapku putus asa dan mendesah,
“Agaknya, aku memang tak akan pernah memenangkan apapun darimu, Nona.”
Aku tersenyum kecil dan gegas
mendorongnya ke luar. Faktanya, Hazri
telah memenangkan hatiku, seluruh-luruhnya hatiku.
***
Kutancapkan plang kayu kecil berisi data
jenis penyu dan jumlah telur di atas gundukan pasir yang telah ditimbun Hazri.
Sementara Hazri sedang memindahkan tukik-tukik yang baru menetas ke dalam
akuarium, aku berinisiatif memindahkan tukik yang sudah lebih besar dari
akuarium ke kolam pembesaran. Aku lantas memberi makan tukik-tukik itu dengan
ikan yang telah dicacah Hazri.
Sarana penangkaran yang dibuat Hazri
masih terlalu sederhana dan terbatas, tukik jadi berdesak-desakan di kolam.
Beberapa bahkan mati karena luka saling memangsa. Seharusnya Hazri tidak
melakukan ini. Tapi aku belum punya nyali mengemukakan pendapatku tentang
penangkaran penyu, khawatir Hazri akan tersinggung dan menganggapku sebagai
garam yang berupaya mengasinkan lautan.
Dari dalam rumah Mak memanggil kami untuk
sarapan. Hazri lekas mengomando dengan gerak kepala agar aku mengikutinya.
“Habis sarapan kita lepas tukik ke laut.”
“Tapi aku tak mau lomba”
“Jangan takut, kau pasti menang nanti.”
Dan benar, entah bagaimana caranya tukik
yang kulepas berjalan lincah ke pantai dan menang dari tukik milik Hazri. Tapi
itu hanya terjadi satu ronde. Ronde berikut dan berikutnya aku kembali kalah
dan Hazri, dari wajahnya yang polos tapi terlihat mengintimidasi itu tergambar senyum
kemenangan.
“Tadi malam mendarat berapa ekor?”
tanyaku saat sudah lelah menyoraki tukik. Kami duduk di pasir dan membiarkan
kaki kami dijilati buih sisa ombak. Matahari pukul sembilan pagi menyorot
terang dan membuat laut tersepuh perak.
“Tujuh.”
“Apa menurut kau cara ini akan berhasil
menyelamatkan penyu dari kepunahan?”
Hazri membuang tatapannya jauh ke batas
horizon, “Aku baru bisa melobi Raja Bachrum untuk sisihkan telur penyu sebanyak
lima belas persen, belum dua puluh lima seperti yang kuharapkan. Tapi aku yakin
selalu ada hasil dari sebuah usaha, sekecil apapun itu.”
“Maksudku, apa kau berpikir bahwa
penangkaran yang kau buat ini satu-satunya jalan penyelamatan?”
Hazri menatapku lama. Ada ketidak
mengertian yang tersiar dari dua bola matanya. Mungkin dipikirnya, aku ini sedang
mengigau. Tentu saja ini cara satu-satunya. Menyisihkan telur, menanamnya di
bak penetasan, merawat yang sudah menetas hingga nyaris dua belas purnama
sampai tukik-tukik dianggap kuat untuk mencari makan sendiri dan tangguh hadapi
predator, lantas dikembalikanlah mereka ke lautan. Memangnya, ada cara apa lagi
yang selain ini?
Tatapan Hazri yang demikian itu seketika membuatku
surut. Aku bangkit dan masuk ke lidah pantai. “Dah lama tak menyelam.
Mau lomba?”
Hazri menyusul dan langsung menceburkan
diri ke pantai. Tubuhnya bergerak gesit di dalam air dan kepalanya timbul
tenggelam. Aku menyusulnya dan kami menyelam tanpa alat. Saat pertama kali
kepala kami muncul ke permukaan, Hazri mengatakan sesuatu yang amat membuatku
terharu.
“Tukik yang kita lepas saat kecil dulu,
mereka pasti dah berenang jauh. Mungkin mereka sudah sampai di laut
Florida, atau Australia, atau belahan bumi manalah. Dan aku senang hati tinggal
di pulau ini, menunggu suatu saat mereka kembali dan bertelur di sini.”
“Atau mereka sudah mati dimakan predator,
Hazri.”
Ingin kukatakan kemungkinan itu, tapi aku
tak ingin merusak kebahagiaan Hazri. Hanya kuulas sekuntum senyum, lalu kembali
kubenamkan kepala ke dalam air sambil hatiku berdoa semoga lekas aku punya
kekuatan untuk berdiskusi soal ini dengan Hazri.
***
Kusalami punggung tangan Mak dan Ayah
Hazri dengan takzim. Kupikir, apa yang kucari di pulau ini sudah kudapatkan
semuanya. Aku sudah melihat penyu bertelur, melepas tukik ke laut juga utamanya
melepas rinduku terhadap pawang tukik-tukik itu. Aku berharap suatu saat entah
kapan kami dapat saling jujur dengan perasaan kami.
Hazri menarik jongkong ke bibir pantai
dan menata tasku di dalamnya. Ia kuat menahan jongkong agar tak oleng saat aku
dan Pak Ngah naik. Kemudian dengan tangkas, Hazri melompat dan mulai mendayung jongkong kami hingga
mencapai pompong yang terparkir di tengah pantai.
Saat aku sudah duduk di pompong dan Pak
Ngah mulai menyalakan mesin, sekonyong-konyong Hazri melompat dari jongkong ke
dalam pompong. Aku gelisah dengan sikap Hazri yang tiba-tiba mengambil posisi
di sebelahku. Lalu ia memiringkan badannya dan mencondongkan wajahnya ke
wajahku yang mungkin sudah sewarna delima.
“Apa kau masih senang cari dan pecahkan
biji kapuk di dalam bantal?”
Hah? Kupikir ia akan mengatakan kalimat
perpisahan apalah. Tapi biji kapuk?
Kujawab pertanyaan itu dengan anggukan.
“Apa Kak Hafsah simpankan bantal kapuk
kau yang dulu tertinggal di sini?”
Aku mengangguk lagi sambil memikirkan
kemungkinan ending romantis dari bahasan bantal kapuk yang sangat aneh
ini.
“Oke.”
Hanya itu, hanya ada sepenggal ‘oke’ dan Hazri
segera berdiri. Bibirnya merangkai senyum tipis dan satu tangannya mengelus
ubun-ubunku dengan singkat sembari ia berpesan pada Pak Ngah untuk hati-hati
menjalankan kemudi. Aku memandangi punggung Hazri yang menjauh dengan pikiran
yang gagal mencerna apa maksud pertanyaan-pertanyaannya tadi.
Hingga dua jam kemudian aku sampai dengan
selamat di Tarempa, tak ada yang lebih penting untuk kulakukan kecuali lekas
masuk kamar dan mendekap bantal kapukku. Ada apa dengan bantal ini? Kalau Hazri
menganggap perlu bicara tentang bantal kapuk ini, mestinya ada hal besar yang
berkenaan dengannya. Namun apa?
Pikiranku sama sibuknya dengan
jari-jemariku yang tak henti merayapi bantal, bertualang dari menaklukkan satu
biji ke biji-biji lainnya. Pikiranku jadi bertambah, kenapa biji-biji di dalam
bantal ini seolah tak pernah habis? Apakah berlaku pepatah pecah satu tumbuh
seribu?
***
Sepekan waktuku pulang ke Tarempa nyaris
habis. Esok aku harus kembali ke Ibukota, namun perkara bantal kapuk yang
ditanyakan Hazri belum juga bisa kutemukan hikmah yang terkandung di dalamnya. Siang
malam berpikir, dan buntu, dan lelah, dan di ujung keputus asaanku, tiba-tiba
saja saat ini ujung jariku menyentuh sebuah benda asing di dalam bantal.
Kurapatkan jariku ke benda asing itu.
Kuraba dimensinya dengan ibu jari dan telunjuk. Tebal. Keras. Bentuknya bukan
biji atau batang kering. Ini seperti wadah berbentuk oval, panjangnya mungkin
tujuh atau delapan centi dan tingginya sekitar tiga atau empat centi. Kucoba
raih dengan telapak tangan. Dan aku sungguh tak sabaran dengan benda asing di
dalam bantal ini.
Kuambil gunting dari laci lemari. Kubuka
sarung bantal dan lekas kugunting satu sisi kain pembungkus kapuk hingga tanganku bisa masuk ke dalam bantal
itu. Dan aku mendapatkannya. Sebuah kaleng oval bekas pomade bermerek Tancho
yang permukaannya diselemuti helai-helai kapuk tua berwarna cokelat.
Kusingkirkan kapuk-kapuk itu dan kubuka penutup kalengnya dengan perasaan yang
sulit kujabarkan.
Ada tumpukan kertas yang dilipat rapi di
dalamnya. Amat hati-hati kubuka lipatan kertas yang sudah menguning dan lapuk
termakan usia itu. Dan ya Tuhan, ada cincin emas di dalam lipatan kertas itu.
Kertas itu ternyata surat sertifikat dari toko emas dengan nama Yuliana Ho
sebagai pembeli. Mama, ini emas milik Mama.
Kubuka semua kertas yang ada dalam kaleng
Tancho itu. Dan semua merupakan sertifikat emas dengan barang persis yang
tersebut di dalamnya. Ada beberapa kalung, beberapa gelang, anting-anting, liontin,
bahkan cincin dan anting-anting bayi juga ada di sana. Apakah yang terakhir
tadi milikku saat bayi?
Kuambil satu lipatan kertas yang tersisa
di dasar kaleng. Ini satu-satunya kertas yang berbeda, dan baru, dan hanya
kertas bergaris dari buku tulis bukan dari toko emas. Kubuka kertas itu dengan
penuh kehati-hatian dan segera kukenali siapa pemilik tulisan tangan yang rapi
di dalamnya.
Hai, Nana…
Apakah kau terkejut mendapatkan sekaleng
Tancho di dalam bantalmu? Kalau kau saja yang hobi cari harta karun dalam
bantal bisa terkejut, apalagi aku yang tak punya garis keturunan sebagai
penambang biji kapuk J
Maafkan aku, Nana. Kaleng ini kutemukan
saat bantal itu tertinggal di Durai sebelum kau kuliah ke Jakarta. Awalnya
iseng, aku coba temukan biji dan
berhasil memecahkannya seperti yang selalu kau ceritakan. Padahal hari-hari
tidur dengan bantal kapuk pun sama sekali tak terpikir untuk lakukan itu. Tapi
entahlah, mungkin ini yang disebut ‘Tuhan menggerakkan hati manusia’, aku
spontan melakukan apa yang biasa kau lakukan ketika melihat bantal kau yang
tertinggal itu.
Dan yah, setelah lima menit aku
terbengong-bengong menghadapi harta karun itu, akhirnya kuperlihatkanlah
temuanku kepada Mak. Dan Mak, tanpa sedikitpun cakap langsung merapikan
semuanya dan perintahkan saat itu juga aku harus pergi ke Tarempa untuk
pulangkan bantal itu ke rumah kau.
Kau tahu Nana, aku sampai harus
memohon-mohon pada Mak untuk tunda menjahit pembungkus bantal yang sudah kubuka
karena aku ingin tuliskan surat ini terlebih dahulu dan menyelipkannya di dalam
kaleng keramat ini.
Harta
karun dalam bantal ini milik kau, Nana. Aku jelas membaca nama mama kau di
sana. Sungguh tiada sedikitpun isinya berkurang karena apa yang kulihat pertama
kali sama dengan apa yang kau lihat saat menemukannya. Aku yakin mama kau
melakukan ini demi membuatmu bahagia. Mungkin ini semacam surprise dari ibu
yang sudah berada di surga.
Lantas kenapa aku berani lancang
menyelipkan surat tak berharga ini ke dalam benda-benda berharga milik kau?
Maafkan aku yang selalu tak berani
mengatakan ini secara langsung Nana. Aku sayang kau. Dulu dan tak berubah
sampai aku menuliskan ini dan entah sampai waktu yang berapa lama lagi. Tapi
aku tahu sayangku ini tak akan mungkin menjelma seperti milik Baba kau dengan
Kak Hafsah.
Maaf kalau kau tak berkenan dengan apa
yang kutuliskan, Nana. Aku yakin kau mengerti kalau perasaan bukan tentang
benar dan salah tetapi tentang sikap. Teruslah kejar impianmu. Bahagiamu tentu
bahagiaku.
Hazri.
Kulipat surat Hazri dengan perasaan yang
membuncah-buncah. Air mataku mengalir sederas bahagia yang menemukan muara. Aku
tak perlu jabarkan macam-macam, kalian pasti tahu seperti apa rasa cinta yang
terbalas itu, kan?
Kudekap surat itu sembari menatap kaleng
pomade yang menyimpan perhiasan peninggalan Mama. Kenapa Mama melakukan ini?
Benarkah ini cara Mama memberiku kejutan? Adakah dahulu Mama kerap
memperhatikan gelagat jari-jariku yang selalu mencari dan memecahkan biji kapuk
dalam bantal hingga terbersit ide menyimpan kejutan itu untukku?
Oh, bagaimana mungkin Mama melakukan ini?
Apakah Mama tidak berpikir bahwa kaleng pomade itu bisa saja tak kutemukan atau
mungkin ditemukan orang lain ketika bantal itu sudah dibuang? Aku tak habis pikir
dengan ide dan keyakinan Mama bahwa kaleng Tancho itu akan sampai kepadaku.
Dari sekian bantal kapuk yang ada di
rumah, kenapa Mama memilih yang itu dan bagaimana bisa itu pula yang kubawa ke
Durai dan tertinggal di sana untuk kemudian ia menggerakkan hati Hazri untuk
menyentuhnya? Kecuali semua sudah diatur sesempurna mungkin oleh Tuhan,
rasa-rasanya apa yang terjadi ini sungguh di luar jangkau nalar.
Dan Hazri, juga Mak, uh, aku buru-buru
menyusut lelehan air yang meluncur ke pipi dengan punggung tangan. Bahkan walau
mereka mengambil semua yang ada dalam kaleng pomade ini, pastilah aku tak akan
pernah mengerti. Tapi mereka tidak melakukan itu.
Aku menangis lebih-lebih mengingat
perangaiku yang buruk terhadap Cik Hafsah. Mereka semua berlaku baik padaku
tetapi aku begitu menolak Cik Hafsah hanya karena urusan perasaanku terhadap
Hazri. Hazri bahkan mengerti perasaan bukanlah tentang benar atau salah, tetapi
tentang sikap.
Bagaimana bila Hazri tahu selama ini aku
telah bersikap amat zalim terhadap kakaknya? Aku menarik napas panjang dan
membuangnya perlahan. Kuenyahkan pikiran-pikiran negatif dan segera turun ke
bawah menemui Baba juga Cik Hafsah. Kutarik
lengan Baba yang sedang mangawasi Ahong bekerja di ruang cetak dan
kuajak Cik Hafsah meninggalkan kompor kesayangannya di dapur.
Bertiga kami duduk di meja makan.
“Nana temukan ini di dalam bantal.”
Kujulurkan kaleng pomade Tancho ke hadapan
Baba dan Cik Hafsah, tentu saja tanpa surat Hazri karena itu sudah kusimpan di
bawah bantal.
“Apa ini?” tanya Baba mengerut kening.
“Baba bukalah.”
Baba berpaling ke Cik Hafsah sesaat
sebelum mendekatkan kaleng Tancho dan membukanya. Tangan Baba gamang meraih
lipatan surat-surat sertifikat dan beliau terdiam lama ketika membuka dan
mendapati emas milik Mama. Entah apa yang dipikirkan dan dirasakan Baba, aku
hanya bisa melihat selaput bening yang melapisi dua mata Baba dan berusaha
ditahan agar tidak pecah.
“Simpanlah, ini milik kau.”
Baba membereskan perhiasan-perhiasan itu
kembali ke dalam suratnya masing-masing dan melipatnya, lalu menumpuknya dalam
kaleng seperti semula.
“Baba saja yang simpan,” kataku tulus.
“Atau Cik Hafsah.”
Baba menggeleng, “Taklah. Kau dah
besar bisa simpan sendiri. Pakai mana kau suka.”
Aku tak suka memakai perhiasan emas.
Kupikir, ini bisa disimpan saja oleh Baba atau Cik Hafsah. Tapi, Cik Hafsah
sama sekali tak berkomentar. Aku tahu, ia pasti merasa hal ini tidak terkait
sedikitpun dengan dirinya.
“Semuanya milik kau, Nana. Terserah nak
kau pergunakan untuk apa.”
Aku memandang Baba bergantian dengan Cik
Hafsah, “Betul macam tu, Ba?”
Baba mengangguk yakin. Aku tersenyum dan
mengambil kaleng pomade itu, menggenggamnya dengan rencana-rencana yang
berkelebatan dalam kepala.
***
Aku duduk ditemani Baba dan Cik Hafsah di
ruang tunggu bandara Palmatak. Kepulanganku yang mulanya terpaksa karena
diancam oleh Baba kini terasa berbeda. Aku berterima kasih pada Baba karena
ancamannya membuatku menemukan sebuah hal besar.
“Nana titip ini untuk Hazri.”
Kukeluarkan sepucuk surat tanpa amplop
dan kaleng Tancho dari ranselku. Kuberikan dua benda itu kepada Cik Hafsah. Aku
ingin Baba dan Cik Hafsah mengerti, surat tanpa amplop itu boleh mereka baca.
Tak ada yang perlu kututupi, tak ada rahasia apapun lagi.
“Tapi kenapa ini-?”
Cik Hafsah menggantung kalimatnya dan
mengangsurkan kaleng Tancho itu kembali padaku. Tapi aku menahannya. “Kemarin
Baba bilang Nana bisa pakai emas-emas ini untuk apapun. Ya, kan, Ba?”
Baba baru akan menjawab namun kalah cepat
oleh petugas yang memanggil penumpang untuk segera naik ke pesawat.
“Tak usah cemas, Baba. Semua aman, oke?”
Kusalami tangan Baba, kucium pipi
putihnya yang mulai menggelambir lemak dan kubisikkan aku menyayanginya. Lepas dari
itu kupeluk erat Cik Hafsah.
“Makasih sudah sabar urus Nana dari
kecil, Mama Hafsah.”
Wanita lembut hati ini mengelus
punggungku. Sepenggal isak kudengar dari bibirnya dan bahunya bergetar,
menjalar ke dadaku. Kucium takzim punggung tangannya dan segera berlalu dari
keduanya.
Lima purnama kemudian.
Aku berada di antara riuh ramai
orang-orang yang berkeperluan di terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta.
Hazri. Ya, ‘pakcikku’ itu pada akhirnya meluluhkan hatinya untuk mau
meninggalkan Durai demi melanjutkan pendidikannya.
Jika kalian bertanya bagaimana ia bisa
bercerai dari tukik-tukiknya, selain itu tentu saja rupa kuasa Tuhan, aku
memang telah melakukan percobaan menambah persfektifnya terkait pelestarian
penyu. Memang aku ini seorang gadis yang hanya memiliki cita-cita menyeramkan
pada masa lampau. Tapi jangan terlalu underestimate begitu, dong. Begini-begini,
aku mahasiswi kelautan sebuah universitas bergengsi di Ibukota Negara ini. Maaf
kalau terkesan agak tinggi hati, habisnya, aku sedang senang begini. Menunggu
Hazri. Sekali lagi, sedang menunggu kedatangan Hazri yang menawan hati. Nah,
kumat deh noraknya.
Telah kutuliskan dalam berlembar surat
yang kutitipkan tanpa amplop kepada Mama Hafsah (rasanya masih agak ganjil
mengganti ‘Cik” dengan ‘Mama’) tentang sebuah kontroversi yang terjadi pada
ahli penyu dunia. Para ahli menilai bahwa headstarting (usaha
penangkaran seperti yang dilakukan Hazri) banyak memiliki dampak negatif
terhadap penyu itu sendiri.
Dari mulai pakan yang biasa diberikan ke
tukik, aktivitas itu ternyata bisa menghilangkan insting berburu tukik. Pun
tukik menjadi manja, mereka akan selalu mendekat ke kapal nelayan berharap
diberi makan. Alih-alih mendapat makanan, nelayan yang nakal malah memburu
mereka untuk dijadikan umpan tangkapan.
Kolam penangkaran yang dangkal dan sempit
juga menjadi masalah bagi perkembangan paru-paru tukik. Bila dilepas ke laut
dan sampai ke arus dalam, mereka akan lemah karena tidak terbiasa berenang jauh
dan dalam. Headstarting juga menghilangkan proses imprinting, yaitu
fase ketika tukik harus menghafal kondisi tempatnya menetas untuk menjadi
panduannya kelak ketika kembali hendak bertelur.
Dari sekian kritik yang dikemukakan ahli
penyu dunia, terdapat solusi bagi manusia yang berkonsentrasi terhadap
penyelamatan penyu. Upaya itu lebih ditekankan kepada penjagaan habitat
bertelur penyu. Pantai tempat penyu mendarat tetap dijaga kealamiannya, menjaga
telur penyu dari predator darat (binatang juga pencuri), serta menjaga
keselamatan tukik yang sudah menetas dan berjalan kembali ke laut dari gangguan
predator. Sudah, itu saja.
Dan aku bersyukur, Hazri memahami isi
suratku dengan sangat baik. Kutuliskan juga, awalnya aku berniat memberikan
seluruh harta karunku yang tersimpan dalam sekaleng Tancho untuk menambah modal
perbaikan sarana penangkaran milik Hazri. Namun mengingat kontroversi ahli
penyu seperti tersebut di atas, aku memohon dengan amat rendah hati kepada
Hazri agar menerima harta karun itu sebagai ongkos melanjutkan kuliahnya.
Lagi-lagi aku bersyukur, Hazri menerima
ide itu dan karenanya di terminal kedatangan yang bising inilah aku sekarang
berada.
“Hei, apa kabar kemenakan Nana?”
Nah, ini dia orangnya sudah datang dengan
semringah. Bibirnya itu bergerak-gerak tak tentu sebab susah payah menahan
ketawa. Dan matanya yang serupa dua bulan purnama itu, sungguh aku melihat
rindu yang amat bercahaya.
“Tentu rindu dengan Pakcik.”
Kami tertawa bersama. Tak perduli lalu
lalang orang dan gelinding roda travel bag yang ditarik tergesa-gesa.
Waktu seolah berhenti. Hazri memelukku menyatukan rindu kami. Dan ketika masing-masing
kami tersadar bahwa perasaan adalah tentang sikap, maka kami saling melepaskan
dan menatap.
“Kita tak akan bisa seperti Kak Hafsah
dan Baba kau. Kau akan hidup bersama orang lain dan mungkin akupun sama. Tapi
kita tak akan pernah kehilangan satu sama lain. Selamanya kau adalah adikku.”
“Dan kau pakcikku.”
“Deal?”
Aku mengangguk. Sungguh, ini berat bagiku
pada mulanya. Tiga purnama sebelum ini, Hazri mengirimiku surat dan bertanya
perihal perasaannya yang belum kujawab dalam suratku yang tanpa amplop tempo
hari. Maka kubalas suratnya dengan sejujur-jujurnya perasaanku. Rasa sayang
yang kerap ditelikung takut. Takut akan menitikkan noktah pada lembar-lembar
kebahagiaan milik Baba dan Mama Hafsah.
Hazri memang lebih pandai menyikapi
perasaan ketimbang aku. Dia memintaku mengikhlaskan perasaanku padanya, pun dia
akan coba melakukan hal yang sama. Kami sampai pada satu keyakinan bahwa
kebahagiaan Baba dan Mama Hafsah adalah bayaran lunas bagi keridaan jiwa kami.
“Dan ini milikmu, Nana.”
Hazri mengangsurkan kaleng Tancho ke
hadapanku. Ia lantas meraih telapak tanganku untuk menerimanya. “Kak Hafsah dan
Baba kau beri aku ongkos kuliah. Harta karunmu masih utuh. Simpanlah untuk
sesuatu yang lebih berharga dari upaya pengentasan kesunyian pemuda ini.”
Kami tertawa lagi. Kembali tak perduli
pada hiruk pikuk dan segala derita yang pernah menimpa. Semua getir dan anyir
di hatiku telah kuikat dan kumasukkan ke dalam kaleng keramat peninggalan Mama;
pada sekaleng Tancho.
TAMAT.
wow banget
BalasHapusDan aku belajar tentang penyu
Makasi mbak
dan uni menangis deras....
BalasHapusuni kenal seseorang seperti Hazri dan Nana. saling menyintai tapi tak bisa dilanjutkan dan harus ikhlas.
bagus banget Wiwik.... dan pengetahuan tentang penangkaran penyu ini luar biasa....