Tersiar, Sabtu 30 Desember 2017 |
ISTANA
IMPIAN
Oleh:
Wiwik Waluyo
Suara-suara
gaduh. Palu beradu batu. Dinding-dinding rubuh. Batu bata luruh
terjungkal-jungkal menerbangkan abu. Hanum terusik kegaduhan itu. Ia segera
menepis lelah, lekas kakinya menuju jendela. Padahal baru saja ia merebahkan
tubuh ke kasur setelah seharian bekerja.
"Ya,
Tuhan,” lirih Hanum dalam hati. Pandangannya tertumbuk ke bangunan rumah di
seberang. Sebuah rumah tua yang sedang direnovasi itu, bakal rumah masa
depannya dengan Wisnu dan keluarga kecil mereka, kenapa tiba-tiba dirubuhkan
kembali?
***
"PINDAH?"
Hanum bertanya gelisah. Kabar yang disampaikan Wisnu bahwa mereka ‘diminta’
Bapak untuk kembali ke kota asal sangat membuatnya kaget. Tak peduli walau
Bapak sudah menyiapkan rumah untuk mereka sekalipun. Bagaimanapun, sebelas
tahun tinggal di kota perantauan sudah membuatnya nyaman. Walau rumah mereka
sekarang belumlah rumah impian, tetap saja ada setumpuk kisah yang walau hanya
dibayangkan saja, akan sangat pedih bila ditinggalkan. Lagipula, pindah akan membuat
mereka kembali ke titik nol.
"Kita
pulang ke tanah asal, bukan pindah, Hanum." Urai Wisnu coba menurunkan
ketegangan.
"Apapun
yang membuat kita pergi dari kota ini, artinya sama dengan meninggalkan karir
yang sudah pelan-pelan kubangun. Lagipula kenapa Mas memutuskan sepihak tanpa
meminta pendapatku terlebih dahulu?"
Dalam
benak Hanum, agak mengerikan jika kembali ke kota asal dan tinggal dekat mertua
dan apalagi ipar-iparnya. Belum lagi sikap Bapak yang keras kepala dalam banyak
hal. Wisnu dan adik-adiknya seringkali repot menghadapi Bapak. Di rantau saja
kadang Wisnu adu pendapat sampai ngotot melalui telepon, apalagi kalau mereka
dekat. Tak bisa Hanum bayangkan ketidaknyamanan itu.
"Hanum,
kau percaya takdir, kan? Ingat dulu sebelum menikah kita punya impian yang
sama? Kelak jika orang tua kita lanjut usia, kita akan senang hati merawat
mereka. Tak peduli itu orang tuaku ataupun orang tuamu. Kupikir sekarang saat
yang tepat untuk mengambil takdir itu.”
Kalau
ada embun yang menetesi tandusnya padang hati Hanum, itu adalah sebuah
kesadaran atas apa yang diucapkan Wisnu.
***
Seorang
perempuan tua sedang membongkar isi tong sampah di halaman samping.
Memilah-milah isinya. Mana yang bisa dibakar, mana yang harus diangkut oleh
tukang sampah keliling esok pagi.
Sebuah
mobil memasuki pekarangan dan perempuan itu tetap bergeming. Suasana seketika
ramai ketika dua bocah anak-anak Wisnu dan Hanum berlomba menuruni mobil dan
berebut menyalami perempuan tua yang mereka panggil Nenek itu.
Ya,
setelah empat bulan perdebatan Wisnu dan Hanum, akhirnya mereka pulang.
Meninggalkan rumah yang membungkus kenang keluarga kecil mereka selama sebelas
tahun. Hanum memahami Bapak sudah tua dan lelah untuk mengurus perusahaan.
Bapak meminta mereka pulang karena memang sudah benar-benar ingin mundur dari
mengurusi usaha konstruksi. Kantor cabang di kota rantau biar diurus anggota
kepercayaan. Di kota asal sebagai pusatnya biar dipegang Wisnu, begitu perintah
Bapak. Dan Hanum menurut ikhlas untuk pulang.
"Kotor,
tangan Nenek kotor. Ayo masuk, Nenek sudah buatkan rendang kesukaan kalian."
Hanum
menghampiri dan mencium kedua pipi Ibu mertuanya, "Ibu mestinya istirahat
dan banyak-banyak mengaji. Kenapa masih terus mengorek-ngorek sampah?"
Ibu
tertawa dan berkilah. Selalu bilang daripada melamun, lebih baik mengerjakan
apapun yang bisa dikerjakan. Memilah isi tong sampah memang sudah jadi kegiatan
rutin bagi Ibu. Bahkan Hanum sudah melihatnya sejak kali pertama diboyong Wisnu
setelah menikah. Awalnya Hanum berpikir asisten rumah yang kurang terampil.
Ternyata bukan. Ternyata asisten rumah juga merasa tak enak hati. Seolah-olah
tak peka pada pekerjaan. Nyatanya, Ibu sendirilah yang sulit dilarang.
"Kami
sudah pulang dan Ibu tak akan bengong lagi sambil mengorek sampah, ya?"
Lagi-lagi,
hanya senyuman Ibu yang tersungging. Hanum lega. Bahwa Ibu banyak tersenyum
menyambut mereka. Ya, semua akan baik-baik saja. Sekali lagi Hanum merapal, baik-baik saja.
***
"Untuk
apa renovasi total?! Rumah itu sudah besar. Tinggal ditinggikan dinding dan
atapnya. Pasangkan baja ringan dan ganti plafonnya dengan yang anti air dan api.
Ganti lantainya dengan marmer. Begitu sudah bagus nggak perlu renovasi total. Buang-buang
uang!"
Buang-buang
uang?
Hanum
meringkuk di kamar. Menajamkan telinga demi mendengar obrolan Wisnu dengan
Bapak. Sudah diduga, perselisihan dengan Bapak soal rumah yang akan mereka
tempati pasti terjadi. Apa tadi kata Bapak? Buang-buang uang?
Buang
uang bagaimana?
Ketika
masih di rantau dan Hanum menyetujui untuk pulang pada akhirnya, ia dan Wisnu
sudah sepakat untuk menjual rumah. Dananya itu yang akan dipergunakan untuk
merenovasi total rumah tua itu. Tetapi Bapak menghadang. Ngotot mempertahankan
rumah sebagai aset.
Tak
pelak lagi, Wisnu dan Bapak berperang dalam sambungan telepon. Hanum masih
ingat benar perkataan Wisnu yang agak kasar di ujung telepon, "Ya, ya,
Wisnu ikut Bapak. Cuma Wisnu minta, rumah calon tempat tinggal kami nanti jangan
Bapak renovasi macam-macam sebelum kami datang. Bapak boleh bersihkan dan cat
temboknya. Sementara kami tinggal di situ tak masalah sampai rezeki kami cukup
untuk merenovasinya."
Jika
Wisnu dan Hanum rela menempati rumah tua apa adanya, lantas kenapa Bapak sibuk
mengurusi ini? Bahkan, saat kedatangan mereka kemarin, Wisnu dan Hanum harus
menelan ludah menyaksikan betapa material sudah menumpuk di halaman.
"Bapak
sudah buatkan anggarannya. Besok tukang sudah mulai bekerja!"
Wisnu
geming. Rasa-rasanya, selihai apapun diplomasi yang akan terluncur dari bibirnya,
bakal tertolak.
Wisnu
kembali ke kamar dan mendapati Hanum tengah membuka jendela lebar-lebar,
menatap rumah tua di seberang, bakal istana impian mereka. Oh, akankah ada
istana impian untuk mereka?
***
"Ayolah
Mbak. Mbak Hanum harus hadapi Bapak sebelum semuanya terlanjur," bujuk
salah satu adik Wisnu beberapa hari setelah perselisihan Bapak dengan Wisnu.
"Mungkin kalau Mbak yang ngomong langsung, Bapak akan dengar. Bapak memang
payah. Tapi kita masih bisa coba sebelum semua terlambat."
Adakah
belum terlambat? Di seberang, Hanum sudah melihat atap rumah sudah diturunkan.
Batu bata mulai disusun naik untuk meninggikan dinding. Adakah itu belum
terlambat?
"Sekarang!"
Dan
Hanum merasakan cengekaraman tangan adik Wisnu di lengannya. Menyeretnya ke
hadapan Bapak yang santai di atas kursi goyang. Lalu tanpa kesopanan seorang
anak terhadap Bapak yang memiliki riwayat penyakit jantung, adik Wisnu langsung
mengeluarkan berentet-rentet alasan agar Bapak mau sedikit saja mendengar
keinginan anaknya.
Bahwa
Wisnulah yang akan tinggal di sana. Bahwa budget
Bapak yang mencapai lima ratus juta untuk sekedar menambah ini dan mengganti
itu sangat berlebihan. Bahwa seharusnya Bapak lebih arif agar setidaknya
memasrahkan Wisnu untuk mengurus rumahnya sendiri.
Dan
di antara rentet perlawanan adik Wisnu, sesekali Ibu menimpali dan membenarkan.
Membuat wajah Hanum kian tertunduk. Menggigit bibir menahan matanya yang mudah
sekali berair. Apalagi, saat semua yang adik dan Ibu katakan menjadi mentah
hanya dengan dua baris kalimat Bapak, "Wisnu sudah sibuk urusan kantor,
kapan lagi dia sempat mengurusi rumah. Sudah Bapak urus baik-baik begini, nggak
usah diutak-atik lagi!"
Dan
semua diam enggan berkata-kata lagi.
***
Sebuah
gambar rumah. Dengan ruang keluarga yang tak terlalu luas tapi cukup lapang
untuk keluarga kecil. Jendelanya besar dan tinggi-tinggi. Ada empat buah kamar.
Kamar pertama paling besar bertuliskan 'kamar Ayah-Ibu'. Yang kedua menghadap
ruang keluarga 'kamar Kakak Zytta'. Berseberangan dengan kamar kedua yang juga
mengarah ruang keluarga adalah 'kamar Adik Farhan'.
Ada
sebuah ruang kosong di sebelah pintu beranda samping yang ditulisi dengan
'Pojok Pintar'. Sebuah gambar lemari buku menguasai satu sisi dinding. Di
sebelahnya ada sebuah meja dengan seperangkat laptop di atasnya.
Di
belakang ruang keluarga, ada pembatas dari kaca berikut pintu gesernya. Dari
depan terlihat, di balik kaca itu ada sebuah taman dengan kolam kecil dan air
mancur. Ada mushola pada sayap kiri taman. Persis di samping mushola itulah
terletak kamar keempat. Dengan tinta hijau Hanum memberi keterangan: 'KAMAR
KAKEK NENEK'.
"Lho,
kenapa kamar Kakek-Nenek di belakang?" Begitu tanya Wisnu ketika Hanum
membuat gambar istana impian mereka. Sebuah gambar yang langsung Hanum rancang
begitu ia memutuskan untuk pulang ke kota asal, dulu. Gambar yang keluar dari
lubuk hati terdalamnya.
"Karena,
biar Kakek dan Nenek mudah salatnya. Jadi langsung akses ke mushola. Biar
khusyuk dan sejuk didekatkanlah ke taman. Ntar Kakek bisa bawa kursi goyangnya
ke taman. Bisa baca-baca sambil dengar gemercik air."
"Bagus.
Simpan baik-baik gambarnya. Nanti kita renovasi total biar jadi rumah
impian."
Seperti
anjuran Wisnu, Hanum menyimpan sepotong gambar rumah idaman itu dengan sangat
baik. Tak hanya di laci meja kamarnya, tetapi juga di satu laci terindah
hatinya. Tetapi itu dulu. Dulu dan kemarin. Sebab pagi ini Hanum sudah
mengikhlaskan dengan sebenar-benarnya rasa ikhlas.
Hanum
tak ingin lagi mendengar Wisnu atau adiknya, apalagi Ibu ikut-ikutan berdebat
dengan Bapak soal rumah idamannya. Sudah cukup sekarang. Hanum meremas selembar
kertas bergambar rumah impian berhalaman luas dengan banyak pepohonan di
pekarangan. Ia melempar remasan kertas itu ke tong sampah pagi tadi, sesaat
sebelum berangkat ke kantor.
***
Masuk
kamar sepulang kerja, Hanum sangat kaget ketika melongok ke luar jendela. Rumah
tua di seberang yang sedang direnovasi itu menimbulkan kegaduhan tak biasa.
Hanum sangsi dengan penglihatannya. Apakah benar batu bata yang sudah dinaikkan
untuk meninggikan dinding dibongkar kembali?
Hanum
tergesa ke luar kamar dan mencari siapa saja. Ada Ibu di dapur, tapi ia jadi
kikuk untuk bertanya. Bertanya kenapa rumah yang sudah bertambah tinggi
mendadak dirubuhkan kembali. Adakah kesalahan yang lain lagi?
"Syukurlah,
Bapak mau mendengar doamu, Hanum."
Ibu
seperti bisa membaca kekikukan Hanum. Karenanya Ibu segera melanjutkan
ucapannya. Tentang Bapak dan Ibu yang sudah tua. Hanya berdua tinggal di rumah
sebesar ini. Sementara adik-adik sudah tinggal masing-masing. Bapak dan Ibu
belum terpikir untuk mengikut siapa nantinya. Tapi begitu melihat gambar rumah
yang Hanum rancang, Bapak langsung berubah pikiran.
"Gambar
rumahmu memang nggak sebesar rumah tua itu, Hanum. Tapi semua ruang ada
fungsinya. Bapak tersentuh ketika membaca kau membuatkan kamar untuk kami.
Jadi... "
"Jadi?"
Tanya Hanum bingung.
"Nggak
ada jadi-jadi!" Terdengar suara Bapak menimpali. "Semua dibongkar,
kita buat yang baru persis gambarmu!" Tegas Bapak membuat Hanum merinding
karena terlalu kaget. Bukannya gambar rumah idaman itu sudah ia buang ke tong
sampah pagi tadi. Bagaimana bisa?
Pelan
Ibu mengelus pundak Hanum. Perempuan tua itu bergumam, "Wisnu dan
adik-adikmu selalu bilang Ibu kurang kerjaan karena masih terus mengorek tong
sampah. Tapi sekali ini Wisnu keliru. Karena Ibu menemukan kertas gambar
rumahmu di sana."
Refleks,
Hanum memeluk Ibu mertuanya seerat yang ia bisa.[]
Catatan; Cerpen ini saya tulis tiga tahun silam. Ide dasarnya karena sering melihat ibu mertua mengorek-ngorek tong sampah dan memilah jenis-jenis sampah. Dibumbui macam-macam, jadilah seperti ini. Setelah 'dicomblangin' ke sana- ke mari, akhirnya berjodoh dengan rubrik Menoreh Magelang Ekspress. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.