Tersiar Ahad, 18 Februari 2018 |
Bangku yang Setia Menunggu[1]
Oleh: Wiwik Waluyo
"Ada sebuah bangku, dingin
menggigilkan sepinya dan panas mendidihkan rindunya. Musim yang gelisah telah
melapukkan raganya tapi dia tetap setia menunggu."
Kalimat itu meluncur dari
bibir Keff, tadi saat makan siang di sebuah kafe yang menghadap ke sebuah danau
buatan. Lotta yang baru meneguk separuh jus jambu merahnya menyingkirkan gelas
itu. Lotta tahu, Keff bukan jenis pria yang senang berbicara dengan bahasa
kias.
"Aku memang bukan
bangku itu, tapi aku masih tetap menunggumu, Lotta."
Saat Keff mengatakan itu,
Lotta langsung bangkit dan meninggalkan Keff. Tanpa pesan apapun. Bahkan,
pelayan belum sempat datang menghidangkan kerapu bakar yang dipesankan Keff.
Lotta termenung lama
sesampainya di beranda rumah. Ia membiarkan angin menerbangkan
perasaan-perasaan yang menggenang dan mengikis pikiran-pikiran yang kadung menjadi
karang tajam dalam kehidupannya.
"Kau tertidur, Lotta?"
Itu suara Han. Lotta
membuka mata dan cepat menggeleng kecil. Lotta membiarkan Han masuk terlebih
dahulu sebelum akhirnya ia mengikut, sepuluh menit berikutnya.
***
"Aku minta waktu
untuk kita bicara," Lotta duduk di sofa dalam kamar. Han yang sudah
bertelungkup di atas kasur dan fokus menghadapi gadget langsung bangkit dan mensejajari istrinya.
"Asal bukan soal
perasaan, bicaralah."
Lotta menggigit bibirnya,
sekuat hati menahan mata agar tak segera berkilatan pedih. Han sudah mengatakan
itu kemarin. Bahwa ia sedang sangat sibuk menangani proyeknya yang baru, tak
ingin Lotta menyinggung soal perasaan karena itu bisa mengganggu
konsentrasinya.
Oh, kemarin Lotta marah
sekali mendengar itu. Saat ia mengatakan perasaannya yang paling murni, bahwa
ia seperti kapas yang terbang ke mana angin berembus dalam sebuah sangkar emas,
dan itu memang kenyataannya. Kenapa justru Han yang marah. Kenapa dia yang
justru menyudutkan Lotta sebagai seorang yang tak pandai bersyukur. Dan katanya
mengganggu pekerjaan, oh, pekerjaan yang mana?
Lotta tak pernah marah
ketika Han selalu menomor satukan urusannya dibanding urusan apapun yang menyangkut
rumah tangga apalagi urusan pribadi Lotta. Sementara Lotta tahu, disela
pekerjaannya, Han selalu ada waktu untuk update
media sosial, kongkow bersama teman hingga larut bahkan pergi reuni alumni sekolah
sampai ke luar kota. Lalu Lotta harus menumpahkan kepada siapa secawan
perasaannya jika bukan kepada Han suaminya?
“Ingin mengatakan apa
sebenarnya? Kau aneh akhir-akhir ini?”
Aku yang aneh atau dia yang memang tak pernah peduli?
“Aku tak ingin seorang diri
terombang-ambing dalam bahtera kita, Han.”
Han memandang Lotta
dengan tajam. “Aku tak akan ke mana-mana.”
“Kau memang ada. Jasadmu
ada, tapi hatimu tidak.”
Han tersentak. Tak terima
dengan semena-menanya tuduhan Lotta. Tapi Lotta tak berniat menarik kembali
kata-katanya.
“Jangan mulai lagi,
Lotta. Aku memikirkan banyak sekali pekerjaan dan kau mengatakan hal-hal tak
masuk akal.”
“Untuk siapa?”
Tirai kelembutan Lotta
telah tersingkap. Ia tak ingin lagi menjadi seorang yang dinilai banyak orang
telah menjalani kehidupan maha sempurna. Karirnya bagus, memiliki putri cantik,
suami tampan, rumah dan kendaraan nyaman. Jika ada yang membuatnya tertekan
adalah sikap Han yang terus mengabaikan dirinya.
“Apa maksudmu untuk
siapa?” Han menjaga intonasi bicaranya.
“Kau bekerja tak mengenal
hari libur. Bahkan saat libur kau masih sibuk golf dan memancing di laut demi entertaint klien. Benar aku tercukupi.
Tapi kalau hanya kebutuhan lahir, kupikir aku bisa melakukannya seorang diri.”
Han membuang tatapannya.
Lotta lega telah mengatakannya. Terserah Han akan mengatainya sebagai wanita
tak pandai bersyukur, tapi itu kenyataannya. Han lebih sering di luar kota.
Lotta tak masalah. Tapi bila di rumah, Lotta ingin sekali bisa sekadar bercerita,
tentang hal kecil semisal pekerjaan juga perasaan Lotta. Lotta ingin sekali
memiliki waktu yang hangat, sejenak saat pagi atau sore untuk menikmati secangkir
teh. Tapi Han tak pernah ada untuk itu.
Lotta pernah merasa
menjadi wanita hina karena Han mencemoohnya sebagai seorang yang terlalu
tradisional dan bertele-tele. Lotta merasa bahwa ia benar keterlaluan. Tetapi
kesadaran akhirnya kembali, bahwa manusia hidup memang memiliki akal juga hati.
Jika Han menafikan salah satunya, Lotta tak ingin menjadi bagian dari seorang
yang demikian.
“Kau meminta berpisah,
Lotta? Apakah semua hal termasuk kebebasan yang kuberikan masih belum cukup?”
“Kadangkala, aku justru
ingin kau melibaskan tali kekang ke tubuhku hanya untuk menyadarkan bahwa kau
masih mencintaiku.”
Dan Han tertawa sumbang,
“Bicaramu seperti anak kecil yang baru pacaran.”
***
Pada sebuah petang, Lotta
bersiap meninggalkan kantor saat ponselnya bergetar mengantar pesan. Dari Keff.
‘Tiga hari kau mengabaikan semua pesan dan panggilanku. Apa kau
baik-baik, Lotta?’
Lotta menyimpan kembali
ponselnya. Ia melajukan kendaraanya dan membelah jalanan Batam Center dengan
pikiran terberai. Dering ponsel mengutuhkan kembali kesadarannya. Lagi-lagi,
nama Keff tertera di layar. Lotta berbaik hati menerima panggilan itu sekarang.
“Terima kasih kau
mengangkat teleponku, Lotta. Kau baik-baik, kan?”
Keff. Beberapa minggu
belakangan setelah mereka jumpa kembali di sebuah grup alumni, ia membanjiri
Lotta dengan perhatiannya yang senantiasa. Lotta masih wanita biasa yang
hatinya bergetar bila mendapat limpahan perhatian. Tetapi Lotta sadar, Keff
bukanlah sosok yang berhak untuk menuangkan perhatian itu dan mengisi cawan
perasaan Lotta yang gersang.
“Lotta…” Keff memanggilnya lagi, tak sabaran.
“Ya.”
“Apa perlu kujemput ke kantor dan
kuantar pulang?”
“Tak usah, aku sudah di jalan. Tapi mmm… bisa aku minta tolong suatu hal
padamu?”
Keff tersenyum di seberang sana. Untuk
Lotta, wanita yang sudah sangat ia suka sejak hari pertama kakinya menjejak
kampus dan tak pernah benar-benar pudar warnanya, apapun akan ia lakukan.
Apapun!
“Dengan senang hati, Lotta. Katakan
saja.”
Lotta meneguk getir ludahnya.
Seandainya Han juga selalu sesigap ini bila ia meminta sesuatu. Oh, Lotta
menepis angan itu dan segera mengatakan apa yang ia inginkan dari Keff.
“Berhentilah menyapaku, Keff.
Berhentilah setelah ini.”
Keff, dalam sesaat saja kehilangan
keyakinan yang sesaat tadi begitu tegas ia ucapkan. Berhenti menyapa Lotta?
Mengapa harus berhenti?
“Terimakasih, Keff.”
Lotta memutus sambungan dan membuat
Keff setengah mati putus asa di seberang sana.
***
“Han, sebaiknya kita mengunjungi
konselor pernikahan, bersama-sama.”
Han spontan mendongak, merasa
telinganya telah salah mendengar, “Ada masalah apa?”
Setiap saat Han mengatakan semua
baik-baik saja, semua terkendali dan semua sudah sesuai seperti yang
semestinya. Dan Lotta benci sekali sikap Han yang seperti ini.
“Masalahnya kau selalu menganggap
segalanya baik-baik dan aku sebaliknya.”
Han berjengit, nampak sekali penolakan
di raut wajahnya. “Sudah kubilang tidak ada masalah. Kau terlalu berlebihan,
Lotta. Aku tak merasa ada masalah apapun denganmu. Jadi kau bisa cari
konselormu sendiri.”
Lotta terjerembab. Sempurna pada dasar
jurang yang tertancap jarum-jarum di dalamnya. Bagaimana bisa Han setega itu.
Han selalu mengurus sesuatu tanpa perlu pendapat Lotta. Semuanya. Dan Lotta
merasa tak berarti apapun lagi. Ada tiadanya dirinya tak akan berpengaruh pada
Han. Bahkan sekarang Han tak mau tahu perasaannya. Han memang matahari bagi
Lotta, tapi Han telah lama ingkar. Ia lalai akan tugasnya memberi sinar agar
kehangatan mahligai mereka tetap terjaga.
***
Sudah sepekan Lotta mengabaikan semua
pesan dan panggilan dari Keff. Sekuat hati ia menahan jari jemarinya untuk
tidak menanggapi sapa apapun lagi dari Keff. Rasanya sungguh sulit. Seseorang
dari masa lalu yang kembali datang dan masih tetap membawa perasaannya yang
segar dalam keadaan rumah tangganya sendiri yang layu, bagi Lotta ini
perjuangan yang nyata. Teman sekantor mengatakan ia terlalu kolot. Tak masalah.
Sebab bagi Lotta, nama Tuhan ada di atas segalanya. Paling tidak, Lotta coba
mengejanya dalam tiap pori kisruh hatinya.
Lotta juga tak mengatakan apapun dan
menuntut secuil hal pun lagi kepada Han. Semua ia serahkan di tangan Tuhan.
Kata orang, antara pesimis dan pasrah hanya setipis ari. Tapi Lotta berbeda.
Baginya, pasrah adalah fase tertinggi dari sikap optimis. Karena pasrah
menggantungkan segalanya kepada Tuhan. Sementara pesimis justru meninggalkan
Tuhan. Dan dalam kepasrahan Lotta, Han seperti seorang buta yang pelan-pelan
dapat menangkap cahaya.
“Aku ke luar kota dengan pesawat
pertama esok subuh. Kalau ada yang perlu kau katakan, katakanlah.”
Lotta kaget. Sudah berapa lama Han tak
bertanya apakah Lotta ingin mengatakan sesuatu atau tidak. Ya Tuhan, bahkan
walau hanya ditanya hal demikian sudah membuat Lotta sangat bahagia. Apalagi
setelahnya, Han mengajaknya makan malam di luar. Namun, sesuatu mengusik
kebahagiaan Lotta. Tuhan mempertemukan Lotta dengan Keff, tanpa disangka-sangka.
“Lotta?!”
Keff. Wajah pria itu terang sekali
persis seperti bulan yang penuh. Setelah semua akses menuju Lotta tertutup,
sekarang ia dapat kembali menjumpainya.
“Han, ini Keff teman kuliahku dulu,”
Lotta sungguh berharap Han akan menguasai dirinya, bersinar terang dan
mengalahkan bayang-bayang di hadapannya. Namun Lotta keliru. Han melepasnya.
“Teman lama? Oh, silakan bila kalian
ingin reuni kecil. Aku di meja sebelah.”
Han cepat menyingkir dan segera tenggelam
dengan gadget-nya. Sementara Keff,
persis di hadapan Lotta, sibuk memastikan bahwa wanitanya ini benar baik tak
kekurangan sesuatu apa.
“Kau ingat kisah bangku tua yang tak
pernah lelah menunggu walau musim telah melapukkan raganya, Lotta?”
Dan Keff tak peduli. “Aku sangat bisa
menandingi kesetiaan bangku itu, tapi kutahu kau tak ingin aku begitu.”
Keff tersenyum hangat sembari memandangi
wajah Lotta seolah-olah ia akan menyimpannya untuk ribuan tahun ke depan. Ia lantas
berdiri dan melirihkan terima kasih dengan suara bergetar. Lalu sigap, ia mengantar
Lotta kembali pada Han.
Bangku
yang menunggu, tak akan pernah menderita walau musim terus menggerogoti
pori-porinya.***
Catatan: Cerpen ini saya kirim 21 Juni 2016 ke koran Batam Pos. Barangkali masih satu grup dengan Tanjungpinang Pos, cerpen ini tayang Sabtu, 17 Maret 2018 di Tanjungpinang Pos. Nyaris dua tahun menunggu hehehe. Saat mengirim, sepertinya itu adalah menjelang Ramadhan, saya membuat settingnya dalam masa puasa. Ternyata saat tersiar sekarang, Redaktur tidak mengubah setting. Tapi, di postingan ini settingnya saya edit di luar puasa, biar nyaman saja :)
Dan ini cerpen hasil tantangan di kelas Penulis Tangguh. Saat itu, mentor melempar tema 'gerhana'. Entah kenapa, gerhana versi saya malah seperti ini ^_^
[1]
Bangku yang Setia Menunggu merupakan salah satu judul puisi karya Khrisna
Pabichara yang terdapat dalam buku Pohon Duka Tumbuh di Matamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.