Bu, malam ini aku
merenungi salah satu hikmah Ali Ibn Abi Thalib; “Jangan simpan rahasiamu kepada orang yang
tak punya rahasia pada dirimu.”
Ibu,
apakah maksudnya aku tak boleh berbagi rahasia dengan siapapun? Karena seharusnya,
seseorang itu adalah Ibu? Hanya ibu?
Ah,
sebenarnya, malam ini jisimku terlampau lelah dan kepalaku tak ingin lagi
diajak bekerja. Tapi aku begitu ingin berbicara denganmu, menyampaikan
rahasia-rahasia, atau mungkin sekadar menerima pelukan. Sebuah pelukan singkat
yang akan mengangkat berkerat-kerat hasrat yang kutak tahu, adakah ia buah dari
nafsu badani ataukah mutiara rohani.
Ibu,
hasrat-hasrat itu memberatiku. Rahasia-rahasia itu membilah hatiku.
Dalam
sebuah perjumpaan dengan seorang teman lama, aku begitu terpukau manakala ia
dengan khidmat mengisahkan tentang suatu masa ketika ia berbagi rahasia dengan
ibunya (sebuah rahasia bukan main yang bahkan tak diketahui belahan jiwanya,
kawan tidurnya) dan ibunya dengan sepenuh kasih memungut rahasia-rahasia itu. Membasuhnya
dengan secawan jernih nasehat dan temanku (dengan mata berkilatan senang),
mengatakan bahwa nasehat itu penyeka rahasia-rahasianya yang sewarna jelaga.
Aku
tentu tak bisa berbagi rahasia denganmu di ruang ini, Ibu. Pun aku lebih dari
paham, ruhmu masih terus mengawaniku dari sana. Kau mengerti semua
rahasia-rahasiaku tanpa perlu kukatakan. Yang aku tak paham, bagaimanalah
caraku untuk sekadar menggeletakkan kepalaku di pangkuanmu. Sekejab saja demi mendengar nasehat yang teruntai dari bibirmu.
Adakah
itu mungkin di dalam mimpi, Ibu? Apa aku boleh berdoa kau beranjang malam nanti
dalam tidurku? Kumohon datanglah
dan hadiahkan pelukanmu yang hangat oleh derai nasehat. Leburkanlah rinduku yang teramat ini.
Rumah karya, 170418. Malam yang direcoki
jangkrik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.