Gigi Palsu Khatib Lathif
Oleh: Wiwik Waluyo
Oleh: Wiwik Waluyo
Tak
ada yang boleh menggunakan kamar mandi di rumah Khatib Lathif hari Sabtu pagi
ini. Khatib empat puluh tahun itu tegak berdiri, menjadi palang bagi istri dan
dua putranya yang hendak berurusan ke kamar mandi.
"Gigi palsu Bapak jatuh dan masuk ke saluran air tadi
sebelum subuh. Kalau kalian mandi, gigi itu bisa tersiram dan hanyut ke
mana-mana."
Mulanya, Layla istri Khatib Lathif kesal. Bagaimana mungkin
gigi palsu menghalang-halangi hajat orang serumah untuk ke kamar mandi. Kalau
hanyut ya sudah, kan tinggal datang ke praktik dokter gigi minta dibuatkan yang
baru lagi.
"Perlu waktu paling cepat seminggu untuk mengurus gigi
yang baru, Bu," ujar Khatib Lathif dengan penekanan. "Sementara besok
Bapak ada jadwal ceramah Ahad subuh di masjid yang dihadiri Bapak Bupati. Masa
iya bertemu Bapak Bupati ompong begini?"
Khatib Lathif nyengir. Nampak gigi seri sebelah kiri bagian
atas yang ompong. Mulanya, gigi seri itu hanya berlubang kecil saja di samping
yang bergandengan dengan gigi seri sebelah kanannya. Gigi itu sudah pernah
ditambal. Namun seiring waktu, tambalan itu copot. Sebelum Khatib Lathif sempat
pergi mendatangi praktik dokter gigi, ealah,
gigi seri kiri itu patah saat ia mengalami kecelakaan kecil terserempet motor
dan mulutnya terantuk aspal.
Alih-alih diperbaiki, dokter gigi menyarankan untuk mencabut
saja gigi itu dan menggantinya dengan yang palsu. Butuh dua minggu bagi Khatib
Lathif untuk mendapatkan sebuah gigi beserta sebidang langit-langit akrilik
yang warnanya kemerah-merahan persis langit-langit aslinya. Dan selama ompong
itu, Khatib Lathif merasakan penurunan performanya saat berkhutbah Jumat,
selama dua kali salat Jumat.
Khatib Lathif ingat betul bagaimana ganjilnya tatapan para
jamaah. Mereka juga menahan-nahan bibir agar tidak terlepas sekikik tawa. Dan
itu sungguh tak enak untuk diulang yang kedua kalinya. Apalagi, ya, apalagi, ia
harus bersama Bapak Bupati esok hari. Karenanya Khatib Lathif berupaya
-bagaimana pun caranya- gigi palsu itu harus ditemukan.
Layla enggan berdebat dengan Khatib Lathif yang keras kepala.
Ia mengalah, meninggalkan suaminya dan pergi menumpang ke kamar mandi tetangga.
Tinggallah dua putra mereka yang garuk-garuk kepala di hadapan Khatib Lathif.
"Kamu berdua ikut Bapak periksa selokan."
Spontan, dua putra saling tatap dengan nelangsa.
***
Sudah Khatib Lathif susuri selokan dari mulai hulu hingga ke
hilir yang bermuara di parit kecil depan gang. Diperintahkannya kedua putra
untuk mengorek-orek selokan dengan batang kayu sementara ia menajam-najamkan
penglihatan. Nihil. Hanya ada bulir-bulir nasi dan ampas-ampas sisa makanan
limbah rumah tangga.
Tingkah bapak beranak yang mengaduk-aduk selokan ini mendapat
perhatian tetangga dan orang-orang yang lewat di depan gang. Mereka bertanya
ada apa dan menjadi prihatin kesudahannya. Beberapa mulai ikut bantu mencari.
Mengorek selokan demi sebuah gigi palsu.
Tanah hitam berbau menyengat diangkat dari dasar parit ke
bibir jalan. Sampah plastik, helai-helai rambut, bekas-bekas botol minuman
plastik terangkut. Dua putra Khatib Lathif dibantu orang-orang membelah
gunung-gunung limbah selokan itu dan berharap menemukan harta karun milik
Khatib Lathif di dalamnya. Namun tiada. Harta karun itu tiada. Hingga napas
terengah-engah dan keringat saling susul meluncur dari kepala, mereka tak
kunjung menemukannya.
“Jangan-jangan sudah hanyut sampai ke sungai, Pak Khatib,”
ujar seseorang.
“Bagaimana cara mencari gigi di sungai?” susul tanya orang
lainnya.
“Mungkin Toek tahu caranya.” Sela seorang yang lain lagi. Dan
itu sungguh membuat telinga dua putra Khatib Lathif tersengat.
Bagaimana tidak? Toek adalah pemuda yang hidup menggelandang
dan anak-anak kecil kerap meneriakinya gila. Keseharian Toek habis untuk memancing
di sungai. Bila lapar ia akan menggedor pintu rumah siapa saja untuk menukar
ikan tangkapannya dengan makanan. Bila mengantuk ia akan tertidur di sembarang
tempat. Rambutnya gimbal, kulitnya tebal dan giginya beberapa ompong beberapa
rompal. Dari badannya menguar pesing bercampur asam. Kadang-kadang, sepat alkohol
juga muncrat dari mulutnya. Siapapun yang melintas di dekatnya -bisa
dipastikan- akan mendadak religius karena berulang-ulang mengucap istighfar.
Mendengar Toek disebut oleh seseorang, dua Putra Khatib
Lathif merasa tersindir. Seolah-olah, apa yang mereka lakukan ini adalah
perbuatan tak masuk akal dan gila.
“Sudahlah, Pak. Kita ke dokter gigi saja sekarang,” ajak
Putra yang besar. Usaha menarik mundur ‘kegilaaan’ Khatif Lathif.
“Iya, Pak. Parit sudah bersih ini tapi gigi Bapak belum juga
ada tanda-tanda penampakannya,” imbuh putra yang kecil.
Khatib Lathif diam sebentar. Orang-orang mengusap keringat
dalam gerakan-gerakan lelah yang lambat.
“Ya sudah. Bubar. Terima kasih ente-ente yang sudah membantu.”
Dua putra saling menatap, lega.
***
“Bapak harus banyak-banyak istighfar, jangan gigi terus yang
dipikirkan,” ujar Layla pelan di samping suaminya yang masih ribut soal gigi
sepanjang hari hingga sore ini.
“Tidak dipikirkan bagaimana? Gigi ompong ini bisa membuat jamaah
tidak khusyuk mendengar khutbah, Bu.”
“Itu kan hanya perasaan Bapak saja.”
“Perasaan bagaimana?”
“Ya perasaan. Kalau ompong begini Bapak merasa kurang gagah.
Nggak sempurna. Ya, kan?”
“Eit eit, sebentar
Bu,” potong Khatib Lathif cepat, “Bapak jadi kurang pede karena gigi ini berhubungan dengan izah seorang khatib, Bu. Tapi
kalau soal sempurna, yang sempurna itu memang hanya Allah.”
“Nah itu, Ibu memang mau bilang yang sempurna itu hanya
Allah, Pak. Kita ini hanya merasa sempurna lantas berkurang kebijaksaan kita
jika apa yang kita anggap penyempurna itu diambil oleh Allah. Makanya coba
Bapak istighfar, jangan-jangan gigi palsu Bapak itu hilang karena hati Bapak
sudah sangat ujub tanpa Bapak sadari.”
Khatib Lathif terpental oleh kalimat-kalimat Layla. Istrinya
itu tergolong pendiam, tetapi kalau sudah buka suara, Khatib Lathif
termangu-mangu dibuatnya. Apa tadi katanya? Ujub? Khatib Lathif ingin sekali
membantah tuduhan itu. Namun sesuatu dalam hati menahannya.
“Kok, Ibu bisa bilang Bapak ujub itu bagaimana menilainya?”
Layla menatap suaminya lalu mendesah. “Gigi palsu bisa Bapak
urus yang baru tapi kenapa harus memaksa diri mengorek parit? Ibu yakin izah
Bapak sebagai khatib tak akan turun jika harus kembali ompong sementara waktu.”
Khatib Lathif gantian mendesah. “Tapi besok subuh Bapak harus
khutbah di depan Bupati, Bu.”
“Bapak diundang untuk khutbah, untuk menyiram hati manusia
yang dipenuhi dengan hal-hal fana. Kalau yang khutbah saja gelisah hanya karena
benda kecil yang diambil kembali oleh Allah, apakah Bapak yakin yang Bapak
khutbahkan itu sampai ke hati jamaah? Ini bukan cuma tentang gigi palsu tapi
tentang akidah, Pak.”
Waduh. Kesadaran Khatib Lathif seperti dipentung-pentung.
Masalah sepele gigi palsu ini mengapa lesat jauh hingga kepada masalah akidah?
Kening Khatib Lathif berkerut-kerut. Ia mengingat saat-saat menjelang gigi
palsunya hanyut. Biasanya, setiap malam ia melepas gigi palsu itu dan
meletakkannya di wadah khusus. Tapi semalam ia lupa. Gigi itu tertinggal di
pinggir bak kamar mandi. Saat jelang subuh ia hendak menggosok gigi, gayungnya
menyenggol gigi palsu itu dan jatuh ke lantai.
Khatib Lathif baru akan membungkuk mengambil gigi itu ketika
air dalam bak penuh dan luber. Gigi itu tersapu, masuk ke dalam lubang air yang
tidak terdapat saringan di atasnya. Kenapa itu bisa terjadi? Khatib Lathif
menjawab monolognya sendiri, karena Allah mengizinkan itu terjadi. Tapi lantas
ia berusaha mencarinya. Kan tidak masalah mencari benda yang hilang?
“Menjadi masalah karena Bapak mencarinya dengan ngoyo. Parit itu tempat najis, Pak. Air
kencing juga kotoran bayi hanyut di sana. Kalau Bapak cari sendiri silahkan.
Tapi Bapak merepotkan banyak orang.” Layla berhenti. Sepintas memperhatikan
suaminya yang terpekur mencerna ucapannya. Layla mendapat kesempatan emas.
Kapan lagi ia bisa ‘menceramahi’ penceramah seperti sekarang ini?
“Kalau Bapak mau bersabar sebentar, Bapak tinggal datang ke
dokter membuat gigi yang baru. Tapi Bapak ngotot.
Malu. Khatib paling kondang kok ompong. Kan begitu perasaan Bapak. Bapak merasa
gigi palsu itu jimat kesempurnaan Bapak. Ibu jadi berpikir Allah memang sengaja
menghanyutkan gigi palsu Bapak biar akidah Bapak kembali lurus dan sikap Bapak
kembali sederhana seperti dulu.”
Khatib Lathif termangu lagi. Masa iya sedalam itu ia
memperlakukan gigi palsu? Lagi-lagi ia ingin menyangkal. Namun pikirannya
saling-silang. Bertemu Bupati dalam keadaan ompong. Sungkan benar rasanya sebab
tak bisa leluasa berinteraksi. Lantas, kalau banyak orang tahu giginya ompong
dan itu mengganggu pemandangan apalagi kekhusyukan jamaah, bisa-bisa namanya
tercoreng dan job berkhutbahnya akan
berkurang. Nah. Nah. Astaghfirullahaladziiim…
Khatib Lathif manggut-manggut sendiri dengan bibir merapal istighfar. Dalam hati ia membenarkan
semua perkataan istrinya, ia –tanpa sadar- telah menjadikan gigi palsu itu
sebagai tuhan kecil.
***
Khatib Lathif sudah bisa menerima kehilangan gigi palsunya
dengan lapang dada. Semalam ia melaksanakan salat taubat. Sebagai khatib,
sebagai ‘alim yang menyampaikan ilmu dan ayat-ayat Allah, ia merasa telah
melakukan perbuatan dosa. Terlebih-lebih, ia malu kepada zat yang kepadaNya
semestinya bergantung segala sesuatu.
Ceramah ba’da subuh
bersama Bupati juga berjalan lancar. Khatib Lathif berterus terang pada jamaah
mengenai gigi palsunya yang tergelincir ke selokan. Jamaah spontan tertawa.
Tetapi ketika ia menyampaikan materi khutbah, semua khidmat, tak ada yang
merasa ganjil.
Lepas zuhur Khatib Lathif berangkat ke dokter gigi untuk
mengurus gigi palsu yang baru. Belum lima menit ia pergi, seseorang datang
mengetuk pintu rumahnya. Toek si pemuda penggelandang membawa sekantung ikan.
Tanpa perlu bertanya, Layla langsung menerima kantung itu dan menukarnya dengan
dua bungkus nasi lengkap dengan lauk pauknya. Toek tertawa gembira. Seringainya
menampakkan ompong dan gigi-giginya yang rompal.
“Mak-kasih, ya, Bu Khat-tibb..."
Saat Toek terbata-bata mengatakan itu, Layla melihat ada yang
bergerak-gerak dari dalam mulut Toek.
“Toek, gigimu goyang mau copot sampai susah ngomong begitu,
ya?”
Toek mengerti. Ia merogoh barisan gigi atasnya dan
mengeluarkan sesuatu, “ini, dapat dari mancing, Bu Khatib. Nyangkut di sini.”
Toek mengatakan itu dengan lancar sembari membuat gerakan
benda itu tersangkut di kail pancingnya. Layla kaget. Namun sejurus kemudian
menahan senyum. Ia mempersilahkan Toek memakai benda itu lagi. Benda yang
membuat Khatib Lathif senewen satu harian kemarin.[]
*Cerpen ini terbit di Harian Amanah, Sabtu, 6 Agustus 2016
Cerpen ini terinspirasi dari dua hal: Pertama, saya memiliki satu gigi palsu dan setiap malam saat melepasnya untuk bergosok gigi, saya selalu membayangkan bagaimana jika gigi palsu tersebut jatuh dan masuk ke saluran air?
Kedua, lebih satu tahun lalu saat sering mendengar ceramah tauhid Ust.Yusuf Mansur, saya mencatat jurus tauhid a la Ust YM, yakni: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.
Kebanyakan kita bila mendapat masalah, langsung panik dan fokus mencari jalan keluar. Misalnya, anak perlu kebutuhan mendadak dalam jumlah besar, orangtua langsung mengatakan, "tenang aja, noh ada motor." Motor jadi sandaran. Padahal itu motor kalau ga seizin Allah juga ga bakal jadi uang. Dalam banyak hal, kita kerap menyandarkan sesuatu pada materi, jabatan, kekuasaan. Allah dikesampingkan.
Semestinya, apapun yang terjadi, kita kembalikan kepada Allah (Allah dulu). Kita curhat minta petunjuk. Bila masih belum kelar, ya dateng lagi ke Allah (Allah lagi). Nggak kelar juga, ya jangan kapok, ngadu ke Allah terus (ALlah terus).
Itu dua hal yang membuat saya menulis cerpen ini. Sebagai pengingat bagi diri sendiri dan mudahan bagi pembaca untuk selalu menyandarkan segala sesuatu kepada Allah.
Alhamdulillah, cerpennya jadi pencerah, makasih ya Mbak :)
BalasHapusSaluuut sama produktifitas mbak Wik. Aku udah lamaaaaaaa banget gak nulis cerpen :(
BalasHapusLanjut terus nulisnya mbak, biar makna baiknya sampai ke banyak kepala :)
BalasHapusSalam,
Pink