Hai Ibu, apa kabar di sana?
Aku mimpi berjumpa denganmu tiga pekan lalu. Surprise, setelah dua puluh tiga tahun kita berpisah, dan kuyakin kulit ibu sudah mengeriput macam kulit jeruk kering, ternyata aku salah. Ibu segar sekali sekarang. Kulit Ibu mulus lembut nan bercahaya. Aku sampai pangling dan takut mendekat. Kukira ibu hantu.
Aku mimpi berjumpa denganmu tiga pekan lalu. Surprise, setelah dua puluh tiga tahun kita berpisah, dan kuyakin kulit ibu sudah mengeriput macam kulit jeruk kering, ternyata aku salah. Ibu segar sekali sekarang. Kulit Ibu mulus lembut nan bercahaya. Aku sampai pangling dan takut mendekat. Kukira ibu hantu.
Sekarang, setelah enam belas purnama tak mengunjungimu dengan
cara yang seperti ini, kumohon jangan tuduh aku mendatangimu karena tiba-tiba
memiliki waktu luang. Tidak, Ibu.
Perayaan waktu luang yang tiba-tiba ada itu hanya milik orang-orang yang sedang menunggu. Dan aku sungguh tidak sedang menunggu siapa atau apapun. Aku datang karena aku benar ingin datang kepadamu. Berbicara denganmu sembari menikmati rinduku yang mengambang di mata cerlangmu.
Bu, apakah warna ketulusan itu?
Seharusnya aku belajar arti ketulusan dari sosok paling tepat dan itu engkau, Bu. Tapi ibu pergi bahkan sebelum aku mengetahui ada kosakata ‘tulus’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dan sekarang aku diajari makna kata tulus itu oleh Allah
lewat seseorang. Aku sama sekali tak mengenalnya kecuali nama kami saling
mengisi daftar kontak pertemanan di dunia maya facebook. Dan tiba-tiba saja, pada
suatu petang dua pekan lalu, dia nyablak berkomentar di statusku.
Aku meng-upload dua desain cover calon buku solo perdanaku --jangan
memicing begitu, Ibu. Ibu tak salah membaca, anakmu sebentar lagi diizinkan
Allah punya buku solo. Kapan-kapan datang dan beri kecupan, yah… -- di facebook dan minta komentar mana yang lebih
banyak diminati teman-teman. Nah, si orang ini, alih-alih memilih, dia malah
straight to the point mengatakan bahwa kedua desain itu masih belum mantap.
Sepeninggalmu, Bu, aku bertumbuh menjadi seorang yang super defensif
karena banyak hal, tapi syukurlah petang itu aku tak membangun benteng dan
meng-ignore komennya yang jujur itu. Aku malah santai saja menanyakan bagaimana
seharusnya agar desain itu menjadi mantap dan keren.
Dan dia mulai bekerja. Menanyakan konsep dan komponen yang
mutlak ada dalam cover. Menanyakan permintaan-permintaan khusus dan segala hal
terkait hingga tiga hari berikutnya pada sepertiga malam, dia mengirimkan hasilnya.
Aku termangu beberapa saat. Tak puas tapi bukan kecewa. Aku
merasakan ada magnet pada desain pertama yang dia buat dan itu tak ada pada dua
desain sebelumnya. Solid-utuh, itulah magnet desainnya. Aku masih merasakan
sensasi terpikat yang ditelikung ketidakpuasan ketika dia mengirim pesan, “Itu
masih draft awal. Pokoknya ditunggu sampai puas.”
Ibu baca, kan? Dia bahkan bisa memahami perasaan
ketidakpuasanku. Dan aku jadi malu sendiri. Lebih malu dari masa kecil dulu
saat terpergok petik anggur di pekarangan rumahnya Lik Parwoto. Duh, pagi dini hari itu aku berusaha
mengutip segala malu hati dengan membalas jujur pesannya. Bahwa aku suka
konsepnya, namun itu terlalu lugas untukku yang menye-menye ini.
Dia merevisi sesuai keinginanku. Dua hari berikutnya dia
kirimkan hasilnya dan kami berdiskusi lagi. Diskusi yang asyik. Padahal
sungguh, dia melakukan ini tanpa sedikitpun imbalan, Ibu. Sudah kukatakan
semenjak awal bahwa ini proyek amal dan aku tak akan bisa menghargai
pekerjaannya secara materi (kondisi sesungguhnya, budget-ku untuk desain sudah
habis tersalur kepada dua desain sebelumnya).
“Kamu kayak ngomong sama siapa, sih? Aku kan Employee of Allah…”
Itu jawaban dia, Bu. Jawaban tanpa canggungnya itu,
seolah-olah kami ini sudah berteman sejak zaman purbakala dan tiada hal apapun
lagi yang menyekat di antara kami.
Kubaca lagi pesannya, Kamu kayak ngomong sama siapa sih?
Oh, Ibu….
Ya memangnya dia siapa sih? Dia orang yang baru muncul di kehidupan mayaku beberapa detik lalu tapi pertanyaannya itu seolah kami ini sudah akrab sejak kehidupan yang sebelum ini. Apakah aku bisa menahan diri untuk tidak terharu, Ibu? Apakah aku bisa mengabaikan begitu saja orang yang teramat baik ini?
Ya memangnya dia siapa sih? Dia orang yang baru muncul di kehidupan mayaku beberapa detik lalu tapi pertanyaannya itu seolah kami ini sudah akrab sejak kehidupan yang sebelum ini. Apakah aku bisa menahan diri untuk tidak terharu, Ibu? Apakah aku bisa mengabaikan begitu saja orang yang teramat baik ini?
Dia mengirimkan lagi revisi ketiga dan aku merasa sungguh
beruntung. Desainnya tak hanya memikatku tapi juga ratusan orang yang kuperlihatkan.
“Bukan aku yang mengerjakan, tapi tim.” Itu katanya sebelum
dia mengirim revisi yang ketiga. Dan syukurku bertambah-tambah. Bagaimanalah menjelaskannya.
Dia saja sudah menawarkan kebaikan, padahal kami tak saling kenal. Lantas ia
pun masih harus merepotkan timnya yang sama sekali aku tak mengenal mereka.
Memangnya aku sespesial apa sehingga Allah begitu baik
menurunkan tim langsung –para karyawanNya- untuk mengurus cover calon bukuku,
Ibu?
Dua hari lalu aku membuka akun facebook-nya, menelusuri
hingga ke bawah macam intel mengorek info seorang DPO, Bu. Dan aku seumpama bercermin,
kulihat aku pada banyak hal yang ia tulis dan posting. Gaya menulisnya yang
kocak, interestnya pada seni dan amal. Aku terkekeh sendiri dan membayangkan
begitulah orang membaca tulisanku yang lebay dan penuh pencitraan.
Ibu, kau mungkin juga tak pernah tahu kalau aku menjadi
seorang yang mudah sekali terkesan atas kebaikan dan ketulusan orang. Bukan
kali ini orang berbuat baik dan tulus padahal kami tidak saling mengenal. Tapi,
seperti kata Tasaro GK di buku Aku Angin Engkaulah Samudra, 'waktu selalu memiliki
pahlawannya masing-masing'. Dan pada masaku yang sekarang, dialah pahlawan dalam
tanda kutip itu.
Dan aku tak ingin ini selesai, Ibu. Umurku sudah paruh baya,
sudah setengah dari jatah umur Nabi Saw dan umatnya. Aku ingin berada pada
pusaran orang yang baik dan tulus ini seterusnya sampai akhir nanti. Aku bertekad mengiringi prosesnya melahirkan sebuah buku yang akan bermanfaat untuk orang banyak. Aku juga mengemis proyek-proyek berorientasi surga darinya. Dan ujung dari itu, kelak jika aku sudah bisa berkumpul denganmu di surga, Bu, aku berharap dia beserta keluarganya juga
mendiami istana yang tak jauh dari kita.
Bu, sudah malam ini, udahan dulu ngobrolnya, ya. Ibu kan tahu, aku harus menghemat energi untuk mengurus cucu-cucumu yang semakin atraktif dan kerapkali membuatku kehabisan tenaga. Sebagai kecup perpisahan, aku perlihatkan desain hasil kerja orang-orang karyawanNya Allah itu, ya, Bu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.