Laman

Rabu, 24 Januari 2018

Enambelas Purnama Tidaklah Lama


 Adegan yang mengingatkan pada masa lalu:

“Sebaiknya kita nggak ngobrol-ngobrol lagi, ya.”
“Untuk kemaslahatan umat, ya? Ok. Berapa lama?”
“Kalau perlu selamanya.”
“Wih.”
“Dan, kamu nggak usah baca-baca blogku lagi, ya.”
“Alasannya?”
“Nggak ada ilmu dan manfaatnya.”
“Alasanmu nggak pas, alasan lain?”
“Ya itu cuma blog curhat, kan? Nggak penting sama sekali. Benar-benar nggak penting.”
Dia mungkin masih ingin mendebat. Tapi mengingat umur sudah paruh baya, dia menahan diri untuk kemudian menyanggupi, “Ok.”


Adegan enambelas tahun silam:

“Kamu nggak usah baik-baik lagi sama aku, ya. Nggak usah tanya-tanya tugasku selesai apa belum, nggak usah periksain makalahku sebelum aku maju presentasi, nggak usah ribut pas aku presentasi, nggak usah tanya-tanya kenapa aku bolos kuliah tiga hari trus minjemin catatan, nggak usah telpon-telpon, nggak usah bla bla bla…”
“Kenapa gitu?”
“Ya nggak kenapa-napa. Pokoknya nggak usah baik-baik lagi.”
“Nggak rasional. Aku nggak bisa.”
“Ya aku minta tolong.”
“Ya sebutin apa alasannya.”
“Ya nggak ada.”
“Ya sudah, aku nggak bisa.”
Putus asa. Nggigit bibir. Mau nangis. “Aku nggak bisa kamu terus baik ke aku kayak gini. Udah, ya. Please…
Sama putus asanya. Darah muda, nggak bisa langsung terima. Tatapannya dibuang jauh entah kemana. Wajahnya merah menahan marah.
Please…
“Aku nggak bisa, tapi kalau itu maumu… “ menunduk, “Oke.”
Menatap sekilas, bangkit berdiri lalu pergi. Yang ditinggal mengalami remuk hati, menangis semalaman. Dan hari sesudahnya menjadi berat. Berselisih jalan selalu saling membuang pandang. Tak pernah lagi saling sapa. Paling menyiksa adalah saat presentasi dan dia sama sekali acuh tak mau tahu, tak mau usil bertanya, tak mau jail menyanggah. Dua orang anak manusia yang sama-sama baik menjadi asing.  
Entah karena ketersiksaan masing-masing, takdir lantas menjauhkan mereka. Yang satu pindah Fakultas, yang satu menyepi ke Pare-Kediri selama setahun. Anehnya, selama setahun tanpa kabar itu, pada ujungnya dia menelepon, mengabarkan akan ke Fakultas lama mengambil transkip nilai untuk kemudian pindah kuliah ke Kampus lain yang sangat jauh.
Dan mereka bertemu setahun kemudian. Berjalan di selasar kampus yang dulu sering mereka lewati, dengan kikuk dan diam-diaman. Mengurus transkip, pulang ke kos. Saat pulang ke kos melewati warung burjo mereka memutuskan mampir, menghadapi semangkuk burjo dan menandaskannya juga dengan lebih banyak diam. Tapi sungguh itu membahagiakan. Kebahagiaan kecil sebelum akhirnya takdir memisahkan kembali, selamanya.
Zaman medsos ini, sesekali mereka bersapa, benar-benar hanya sesekali. Kadang tiga tahun belum tentu menyapa. Terakhir, mereka bersapa di grup bekpeker karena yang satu posting tulisan, dan yang satunya berkomentar paling nomor satu; “Hei, bisa tolong bantu siapkan umrah plus Turki untuk 20 orang, ya.”
Maka habislah sudah luka-luka yang lama.

Sekarang.
Belajar dari kasus masa silam. Ternyata waktu dan perpisahan menyembuhkan luka. Maka berpisahlah. Tak lama, hanya enambelas purnama. Selama enambelas purnama ini, banyak hal bisa dilakukan, termasuk mengerjakan proyek-proyek pribadi. Nanti sudah enambelas purnama, mari berjumpa di ruang yang membahagiakan, dengan proyek-proyek kita yang sudah selesai dan hanya tinggal finishing. Juga dengan sekeranjang proyek-proyek amal saleh yang baru. Sebab sulur-sulur kebaikan tetap harus dilanjutkan.
Yah, begini terasa lapang.

Semoga Allah tetap melapangkan, hanya enambelas purnama… 

1 komentar:

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.