Setelah Koko
berpulang untuk selamanya, maka kami ingin terus mengikatnya dalam sebuah
kenangan.
-Penulis Tangguh.
Buku ini tiba
siang kemarin. Sebuah buku kenangan sekaligus amal, yang seluruh hasil
penjualannya disedekahkan atas nama Koko Ferdie (almarhum), teman kami di Grup
Penulis Tangguh (PT).
Dua
tahun lalu, PT adalah grup penulisan yang sangat ekslusif dengan jadwal yang
begitu ketat. Tidak menyetor tugas, siap-siap saja dikeluarkan. Pahit memang,
tapi saya paham untuk alasan apa sang founder (Ibu Nurhayati Pujiastuti)
memberlakukan peraturan ini. Bagi saya yang saat itu memang butuh dicambuk, PT
adalah rumah angker yang ngangenin.
PT
menjadi eksklusif karena tidak sembarang menerima murid baru. Hanya penulis-penulis
pemula yang beruntung semacam saya -benerin kerudung- yang beliau
izinkan masuk ke dalamnya. Ini pun mengantri lama, menunggu ada kursi kosong
dari empatpuluh kursi yang tersedia di dalamnya.
Dan
sungguh, selain eksklusif, PT juga gemerlap oleh penulis-penulis betulan.
Ruwi Meita siapa tak kenal? Yulina Triharningsih, Utami Panca Dewi, Liza P
Arjanto, Happy Rose, Ida Refliana, itu nama-nama penulis betulan yang
membuat saya tergagap-gagap mengikuti kelas. Dan, di antara mereka, ialah Koko
Ferdie, pemuda kalem, baik hati dan senang menulis kisah-kisah romance.
Ketika
Dia Pergi
Tak
ada berita apapun sebelum kepergiannya. Tak ada kabarnya ia sakit serius. Hanya
ada status mengenai meriang (dan itu menjadi status terakhirnya), yang kami
pikir ia hanya sedang flu atau masuk angin. Ternyata kami salah. Selain kalem,
Koko juga tak pandai membuat teman-temannya cemas. Walaupun ia sedang berjuang
melawan sakit berat, ia tak mengabarkan pada siapapun perihal sakitnya.
Dan
hari itu tiba. Hari kepulangannya yang melemaskan semua penghuni PT. Airmata
tumpah bercawan-cawan. Kenang curah bercawan-cawan. Adalah hal yang menyentuh
hati, ketika beberapa teman PT domisili Malang bertakziah ke rumahnya. Uang
duka yang kami kumpulkan dan teman kami serahkan dengan takzim, disorongkan
kembali dengan halus oleh kedua
orangtuanya. Teman kami memaksa. Akhirnya mereka terima. Namun, di manapun, orang
baik selalu pandai membuat kejutan. Uang yang diterima ibunda Koko, saat
itu juga diserahkan ke masjid di sebelah rumah Koko.
Dua
pekan setelah airmata mulai mengering, kami membincang sebuah proyek untuk
mengikat kenangan atas Koko. Proyek amal yang kami harapkan, tak hanya akan
mengikat kekancan kami di PT, namun juga sedikit pahalanya akan mengalir
untuknya di sana.
Koko
masih sangat muda. Cerpen dan buku-buku yang ditulisnya bernuansa teenlit dan
chicklit. Maka kami sepakati itulah genre yang akan kami ambil. Dan
saya? Menulis teenlit? Wow? Bagaimana bisa? Saya butuh pulang ke masa
lalu dan mengaduk-aduk ingatan demi sebuah ide menulis bernuansa remaja, yang
manis dan menggemaskan.
Dan
sayapun pulang. Kaki saya tersandung reranting yang telah mengering.
Reranting yang dahulu jatuh saat awal masa kuliah. Saya memungut reranting itu dan
mulai membauinya. Bau kayu lapuk, namun begitu jelas menguar, menyegarkan
ingatan. Maka, jadilah aroma ranting lapuk itu ruh yang menjiwai cerpen Prasangka.
Sebuah cerpen yang berkisah tentang seorang anak muda (Koko) yang amat-sangat
baik, tak neko-neko namun jail pada orang yang dia nyaman dengannya (gadis bernama
Meita). Koko jail mengatakan Meita ‘bau neraka’ setiap bulannya ketika gadis
itu mengaku sakit perut karena siklus bulanan. Kejailan ini, adalah satu buah rerakan dari seranting kering yang saya baui untuk kemudian menegaskan gurat tawa di bibir saya.
Koko Ferdie adalah pemuda yang gemar menulis kisah romantis. Sementara saya senang sekali membuat cerpen cengeng. Maka, cerpen Prasangka
menampilkan keromantisan yang gagu, yang kikuk, yang sungkan, yang ditahan-tahan hasil dari blusukan ke lorong waktu.
Perjalanan
ke rimba masa lalu lantas berpeluh menapaki jalan pulang ke masa kini, saya
disadarkan pada satu hal yang terkait dengan pengenalan diri saya sendiri. Bahwa
saya ternyata begitu gagap berhubungan sosial. Apalagi, dengan lawan jenis dan
dia datang dari golongan bangsa baik budi-baik hati.
Padahal,
hei, apa susahnya berhubungn dengan orang baik? Bukankah itu justru tak
membahayakan dan menguntungkan? Malah kapan-kapan bisa pula dimanfaatkan
(seperti yang dahulu sering saya pelajari dari mbak kos). Tidak, alih-alih
santai dan menikmati, saya justru takut. Mungkin nanti perlu saya cari tahu,
apakah benar ada phobia yang semacam ini.
Hal yang membuat surprise, dalam buku ini juga terdapat cerpen berjudul Sepucuk
Kenangan Cinta Pertama karya Mbak Ida Refliana yang mencatut nama saya di
dalamnya. Saya senyum-senyum sendiri membaca bagian itu –bagian yang ada nama saya-
dan ini sungguh kenorakan yang nyata. Ah, kalian pasti sulit mengerti bagaimana
rasanya :D
Dear Koko ini
buku antologi kesembilan saya. Sedikit, ya? Memang. Karena saya suka pilih-pilih tema, plus (sok) jual mahal pada antologi yang hanya diterbitkan indie. Tapi, saya suka
yang model amal begini. Nggak dibayar ya nggak apa-apa, terbit indie juga nggak
apa-apa. Nggak nampang di toko buku pun nggak apa-apa. Nggak terkenal di dunia
ya juga nggak masalah.
Namanya
amal, bayarannya nanti, terkenalnya nanti, esok lusa, di surga. Aaamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.