Esok,
ketika
syairnya tak lagi terbang dibawa kesiur angin yang menelusup di
antara bebaris pohon di lapangan hijau depan kamarmu
juga tak lagi berisik datang bersama cericip gelatik yang
merumput di pekarangan kantormu
dan lembaran malam senantiasa diringkus sunyi yang menjadi-jadi
bulan ikut-ikutan jadi pendiam
bintang-bintang lupa cara mengedipkan pesan
bahkan detak jam menjadi sekarat.
Bukan, bukan dia kehabisan diksi
bukan pula narasinya repih
tetapi dia sedang merangkai kelopak-kelopak cinta
yang berarti berkorban
melepaskan
dalam kerelaan paling rela miliknya
hanya agar Sang Rahman menyambut cintanya.
Saat itu,
jiwanya telah rida dengan ketetapan Tuhannya
telah berhasil ia maknai sepotong luka dalam riwayat yang
dituliskan Khrisna Pabichara;
"Semenjak luka kunamai doa,
aku tahu kehilangan tak lagi butuh airmata."
-Medan Barat, lima February duaribudelapanbelas, untukMu yang tercinta…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.