“Kamu kenal
penulis buku The Grand Me Time?”
“O, dia
temanku, walau belum pernah bersilaturahmi secara resmi. Ng, maksudku, belum
pernah datang ke rumahnya dan disuguhi segelas es jeruk.”
“Menurutmu,
kalau Allah timpakan ujian berat di pundaknya, apakah dia akan berhasil
memikulnya?”
“Kalau selevel
dia dikasih ujian ringan mah nggak seru. Tapi insyaAllah dia mampu
menjalaninya. Karena dia tahu. Di ujung sana. Yang ada hanya Cinta.”
***
Dia
membaca sekali lagi kalimat akhir, di ujung sana, yang ada hanya Cinta.
Ya.
CintaNya Allah tentu saja.
Satu-satunya
cinta yang layak diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, bahkan berdarah-darah,
hanya cintaNya. Dan dia sudah memulainya dengan baik. Dengan mengiba ampunan
Tuhannya, dengan berulang-ulang tanpa bosan mengatakan sepenuh jiwa ‘hamba
seutuhnya milikMu ya Rabb, cintai hamba, please cintai hamba’. Dia juga
berupaya terus mendekatiNya melalui ilmu dan amal saleh. Tapi, adakah hamba
yang mendekat dan mulai mengaku beriman tanpa diuji?
Ujian
yang telah ada ditambah bobotnya entah berapa kali lipat, dan ujian yang
sebelumnya tak ada menjadi ada, juga dengan bobot yang langsung meretakkan
tulang punggung.
Dia
tahu ini bukan sebuah kesalahan. Sebab pengakuan cinta hamba padaNya perlu
diuji. Apakah
Allah kurang kerjaan perlu menguji hamba yang sudah merengek-rengek minta
dicintai itu?
Dia
pernah mendengar dari guru mengaji, Imam Nawawi penulis kitab Al-Adzkar mengatakan,
“Allah menjaga hamba yang Ia cintai untuk tidak melakukan dosa dan Allah
mudahkan ia di dalam ketaatan.”
Nasehat
ini membuat dia merutuki dirinya sendiri. Semestinya dia selalu peka untuk
memahami bahwa ujian yang terasa amat sangat menyiksa ini, barangkali memang
karena Allah sedang menjaganya dari sumber dosa. Allah tidak berkenan, dia yang
mulai Ia cintai ini kembali terlumur dosa setelah Allah menyucikannya dalam
prosesi pertaubatan.
Dia
menangis, dia merasa telah berulang-ulang mempelajari ini, namun selalu
remedial. Dia bahkan harus disadarkan soal remedial dengan kulitnya yang
melepuh akibat tersengat ketel berisi air mendidih, pekan lalu. Sengatan itu,
tepat berada di lengan bawah yang tempo hari sudah pernah lepuh sebab uap mendidih
dari panci. Bahkan bekas lepuhan yang lama belum juga sempurna hilang. Kini
ditambahkan, tepat, di tempat yang sama.
Dia
paham, ini remedial.
Karena
Allah mencintainya.
Hanya
karena Allah mencitainya.
Terngiang support itu lagi; “Kalau
selevel dia dikasih ujian ringan mah nggak seru. Tapi insyaAllah dia mampu
menjalaninya. Karena dia tahu. Di ujung sana. Yang ada hanya Cinta.”
Ketika pembaca termotivasi dan sekarang penulisnya butuh motivasi dari mereka |
-Empat February duaribudelapanbelas, support ini semoga jadi pil pembangkit gairah hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.