Dia nyaris tenggelam tadi malam.
Benda-benda terlihat berjatuhan, dimensinya menghitam.
Ada beberapa kunang-kunang, terbang tinggi.
Kerlipnya sedikit menerangi.
Benda-benda yang jatuh, menghimpit dadanya. Membanting
perutnya.
Dia terbatuk, pendek-pendek tapi dalam, seolah hendak
mencerabut semua apa yang ada di rongga dada.
Sesak. Berputar-putar.
Dia bangun.
Menepuk dada dan perut.
Terhuyung berjalan ke kamar kecil.
Tertunduk dan memuntahkan semua. Isi perut yang menggores-gores
kerongkongan. Perih. Pahit.
Bahunya berguncang.
Dia berbaring sembari belajar merubuhkan arsitektur
kepedihan yang terbangun sendirinya beberapa hari belakangan.
Arsitektur kepedihan yang kumuh dan merontokkan
sari-sari bunga.
Arsitektur kepedihan yang melantak harapan-harapan.
Pada ujung tangisnya, dalam rengkuk tubuh ringkihnya,
dia mengingat kau.
Satu saja dan dia hanya sanggup mengingat kau.
Di sana, apakah sebersit saja kau juga mengingatnya?
Malam tadi, sungguh dia akan tenggelam.
Ingatan tentangmu, sedikit saja, mengeringkan
airmatanya.
Menertibkan gemuruh dadanya.
Meredakan sengalnya.
Dia mengingatmu, mengingat ucapanmu, “Bersabarlah, kau
bisa melewati semuanya. Percayalah, sungguh percayalah, di depan sana, yang ada
hanya cinta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.