Kemarin, aku menemukan permohonan kepergianmu yang
terselip di antara rerimbun kata duka atas goncangnya sebuah perahu dakwah. Ingatlah
Hari Itu. Ya, aku sudah membaca itu pada hari ketika kutahu kau pergi. Betapa
bodohnya aku yang tak bisa mengenali bibit-bibit perpisahan di belantara duka
aksara yang kau tulis.
“Ingatlah
kita pernah berjanji untuk saling mencari jika tak bertemu di telaga kautsar. Ingatlah
kita pernah bercita-cita untuk sujud bersama di jannahNya. Ingatlah selalu hari
itu…”
Ya,
tentu saja aku ingat. Kan kau yang bilang bahwa kita ini sekutu.
“Sampai
jannah!”
Airmataku
enggan berhenti saat membaca janji itu. Kau yang berjanji, bukan aku. Tapi
kau
pergi.
Itupun tak mengapa bila itu akan menciptakan banyak jannah di dunia,
bagimu, untukku.
Ini Desember. 2018. Pesanmu yang mengingatkanku untuk
selalu mengingat hari itu akan bertahan berapa lama? Jangan kau tanya aku. Allah
memberiku bakat bersetia yang hebat. Perhatikan baik-baik, aku akan selalu
mengingat hari itu bahkan hingga kepalaku tak sanggup lagi mengingat apa-apa.
Ini Desember. Dan oh, kau pun pernah melakukan ini
pada Januari. 2018. Ketika pertama kali kita bersepakat untuk menyudahi kekonyolan-kekonyolan tak berfaedah.
“Kau tahu perpisahan itu amat tak mengenakkan? Terlebih
lagi saat kau tahu persis, bahwa sebagian hatimu telah terbawa bersamanya. Kau
hanya akan menjadikan perpisahan itu serupa kesedihan yang menjadi-jadi.”
Awal tahun lalu, kau menyisipkan surat duka itu di
antara rimba airmata kematian seorang bocah. Orang-orang percaya bahwa pekat sedihmu itu sepenuhnya sebab kematian yang kau kisahkan. Namun aku tidak. Setidaknya, ruhku mengenali jenis kepedihan itu.
Ah, aku terlalu melambung. Maaf, maafkan aku. Mestinya aku
ingat, kau ahli menyusupkan pesan-pesan pada surat-surat yang kau kirimkan. Bukan
untukku. Memang bukan untukku. Tapi kau mengenalku. Kau mengenalku karena
lamat-lamat pernah kau bisikkan, “I think, I totally agree with you… bahwa kita
ini serupa.”
Kau paham betul aku sering menyelipkan pesan-pesan, kau pun sama.
Sekarang penghujung Desember 2018.
Ini adalah tahunku yang dibuka dan ditutup oleh
kepergianmu. Januari menumpahkan bercawan airmata. Tapi Desember ini kering. Aku
tak bisa lagi menangis. Apakah hatiku mengeras? Apakah ia menghitam?
Ini Desember. Punggungmu menjauh. Langitku jelaga. Aku
terbata-bata. Perlahan-lahan bangun. Berpegangan pada tali rapuh keyakinan:
Sang Rahman tak akan pernah meninggalkan…
pixabay |
“Hope is being able to see that there is light despite all of the darkness.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.