Jika pernah kau
perhatikan, sebuah wadah yang terisi penuh oleh benda-benda berat,
mungkin saja itu batu. Tumpukan batu itu memenuhi wadah, berjejalan
dan menyesaki. Ketika batu-batu itu dikeluarkan, wadah itu menjadi
lega. Walau tertinggal bekas -gurat, lecet- di dalamnya, itu sungguh tak
mengapa. Wadah itu hanya perlu sedikit waktu, juga sentuhan,
dan segalanya akan kembali seperti sedia kala.
Begitulah
dia. Hatinya. Berhari-hari lalu sungguh penuh sesak oleh segala
tentangmu. Perasaan-perasaannya, perkiraan-perkiraannya. Dia
sungguh ingin mengakhiri itu. Dia sungguh memohon pada tuhannya memiliki
hati yang selesai. Tapi bagaimanalah ia menyelesaikan ini. Bagaimana ia
mengeluarkan bayanganmu dari hatinya?
Pikirannya
buntu. Hatinya kelu. Dan bayang-bayangmu masih saja utuh. Beranak
pinak. Mengotori waktu.
Sementara
beban-beban pekerjaan mulai menjerit minta diselesaikan. Bagaimanalah
bila pikiran dan hatinya berai. Tuhan, sungguh dia ingin memiliki hati
yang selesai. Hati yang tanpa bayang-bayang. Kamu.
Di antara
seredup suluh dan rasa malu, dia membanting wajah menemui kamu.
Berbicara dan memohon agar kamu kembali, memungut bayang-bayangmu,
lalu silahkan pergi lagi. Itu rencana mulanya. Dan memulai
berbicara itu serupa menggores lidah dengan kayu berduri. Kebas dan
menggigil seluruh jiwanya.
"Hei."
Akhirnya, hanya itulah yang berhasil keluar dari lisannya. Tak berani ia
tatap wajahmu. Itu serupa menggantung leher pada seutas tali di tiang
gantungan. Salah menangkap makna sorot mata saja, tercekik sudah
lehernya. Tapi ternyata, itu hanya ketakutan-ketakutannya
belaka. Museum dukanya seketika berganti cerah. Saat kau membalas
sapanya.
"Ya.
Ada kabar apakah?"
"Salah
satu pekerjaanku membutuhkan kamu. Maksudku bantuanmu. Apa
kau bisa menolong."
"Tentu
saja. Katakan saja apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Duhai sang
maha penggenggam hati, detik itu, sungguh segala beban dan
bayang-bayang seram ke luar tunggang langgang dari hatinya. Kosong.
Lega. Walau menyisa gurat, tapi tentu Engkau akan
menyembuhkan.
Dia
berterimakasih. Sungguh berterimakasih atas kesempatan pada awal Januari
yang begitu melapangkan hati ini. Duhai Allah, Rahman, terimakasih telah
mengeluarkan segala bayang-bayang yang menikam. Terimakasih telah membersihkan
hatinya. Walau masih menyisa gurat-gurat nestapa di sana, tapi dia yakin bahwa
Kau akan menyekanya. Menguatkannya.
Foto pixabay |
Syekh Abdul Qadir Jaelani menulis dalam Fathur Rabbani: "Jika jiwa sudah diuji lalu menjadi tenang, maka jiwa akan berada pada limpahan kebaikan dan iapun akan menjalankan segala bentuk ketaatan dan meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Pada saat itu, kepada jiwa semacam ini akan dikatakan; Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya."
Rumah karya, 030119
Serinya sebagai bekal ratusan purnama di depan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.