Pertolongan Allah itu lebih banyak terasa indahnya pada tahap demi tahap proses menuju apapun yang kita mohonkan untuk Dia tolong. Termasuk, keindahan proses pemahaman terhadap satu episode 'Turki" seperti di bawah ini...
Rancangan Pendidikan Tinggi di Turki
Oktober tahun lalu saat Ririn ulangtahun,
selain mendapat ucapan-ucapan dari Eropa dan Turki, Ririn juga mendapat ucapan
dari Madinah.
“Ririn, belajar yang rajin agar nanti bisa melanjutkan ke Madinah.”
Sebagai Ibu Feeling yang visioner dan hobi
menggembleng orang, saya mulai merancang pendidikan tinggi Ririn agar terarah
jalan penggemblengannya.
Madinah itu kota idaman banget. Dan saya pernah
mengkhayal suatu saat menjadi penduduk Madinah hehe. Searching segala hal tentang beasiswa
di Taibah University Madinah. Ternyata, anak gadis bisa kuliah di sana jika ada
mahram. Peraturan
ini berlaku sama untuk Ummul Quro Makkah, King Saud University di Riyadh, King
Abdul Aziz University di Jeddah juga Princes Noura University di Riyadh.
Harapan kuliah di Arab layu.
Saya terlintas Al-Azhar. Namun kepala seketika
menggeleng. Tidak untuk Mesir, dalam hati saya.
Diam. Merenung. Kemana kira-kira anak ini akan
‘dilempar’?
Aha. Turki. Bukankah Eyang Erdogan sedang bergairah ‘mengislamkan’
Turki? Lagipula, Ririn itu anak Sensing, dia memiliki kecerdasan memory. Salah
satu jurusan yang pas adalah sejarah. Yup. Belajar sejarah di kota yang
memiliki sejarah kejayaan Islam. Bukankah ini jodoh?
Maka saya mulai berselancar, mengetikkan
‘beasiswa di Turki’ dan bertemu dengan link ini. Saya ubek-ubek isi blognya dan mendapat banyak
gambaran tentang apa saja yang harus dipesiapkan sekaligus trik-trik untuk
mendapat beasiswa ke Turki. Bismillah. Saya mulai menyihir (melakukan
afirmasi positif) dan mengundang masa depan dengan jurus Law of Attraction
(LoA). Saya siarkan berita ini kepada keluarga dan minta didoakan. Ayah, simbah, om pakdhe semua mengaminkan. Di rumah
saya sediakan satu tabungan sebagai ikhtiar (keseriusan niat) seorang hamba,
Agar Allah lihat. Biarpun saya cuma bisa menabung seribu sehari katakanlah,
tapi inilah ikhtiar saya.
Liburan semester lalu, saya mengirim semua
sinyal hasrat perihal melanjutkan pendidikan tinggi ke Turki pada Ririn.
Awalnya Ririn terkejut, dan pesimis. “Turki? Emang
bisa ke Turki? Biayanya gimana? Ntar kalau kangen gimana? Ntar bahasanya
gimana?”
Pertanyaan-pertanyaan itu tuntas saya jawab dengan
meyakinkan. Saya akhiri dengan bius kalimat, “Sekarang kakak sudah jadi yang
terbaik di kelas. Itu sudah satu modal. Pertahankan prestasi dan naikkan level
untuk jadi jawara umum semester depan. Setelah ini mulai latih kepercayaan diri
untuk tampil dalam lomba apapun. Kita perlu seritifikat-sertifikat agar berkas
kakak bagus dan lolos seleksi. Sementara kakak ikhtiar dari pesantren, mama
ikhtiar dari rumah dengan menabung dan doa. Kita masih punya waktu lima tahun
untuk mempersiapkan ini. Oke, Honey?”
Senyumnya mulai mengembang. Alhamdulillah,
frekwensi sudah sama. Kami ‘toss’ sebagai penanda kesepakatan. Pada proses ini,
saya teringat pesan di belakang kartu pos yang dikirimkan Pakde Guntur dari
Istanbul untuk Ririn: “… come to Istanbul to study.”
ditunggu kartu pos selanjutnya, Pakdhe ^_^ |
MasyaAllah, adakah sinyal dari pesan di
sebalik kartu pos itu yang menarik kegilaan (impian-impian) terkait Turki ini? Wallahu
a’lam.
Film dan Status
Entah kenapa, pekan belakangan kegamangan hadir. Benarkah kau akan mengirim putrimu ke Turki? Apa kau yakin?
Tiba-tiba, gundah itu mencemari keyakinan seperti
sebuah rerakan kecil di kain yang tersangkut benda runcing.
Turki? Benarkah Turki?
Saya belum mengerti atas dasar logika apa kerisauan
itu hadir. Itu hanya serupa perasaan-perasaan tak berdasar hingga Allah
menumbukkan mata saya pada sebuah status FB seorang teman. Kira-kira seperti
ini:
“Betapapun mayoritas masyarakat Turki menganut
Islam, betapa Erdogan berjuang keras untuk mengembalikan napas Islam ke negeri
Ottoman itu, tetap Turki negara sekuler. Secara dzohir, Indonesia tetap lebih islami dari Turki.”
Jleb.
Segera beristigfar dan saya bertanya pada
Allah, apakah hamba salah berniat mengirim anak belajar ke negeri yang
kalimatMu pernah begitu bergemuruh di sana, ya Allah? Bukankah belajar bisa di
mana saja?
Saya masih coba mencari pembenaran atas Turki
hingga 2 hari lalu saya menonton film The Gift (2018). Sebuah film
besutan Hanung Bramantyo dan kabarnya, ini adalah film paling jujur dari
semua film yang pernah ia buat sebelumnya. Ketika film ini usai saya tonton,
saya termenung tentang adegan tokoh wanita yang dibawa lari ke Italy oleh teman
laki-laki masa kecilnya. Mereka tinggal satu atap tanpa adegan sebuah upacara
pernikahan sebelumnya. Bagi saya, ini fatal. Sebab ini menyangkut nilai. Ya,
nilai.
Tidak. Buat saya semua jenis karya seni itu
mengandung nilai. Seni itu nilai dari olah rasa dan karsa. Om Hanung mungkin
tak pernah hidup seatap dengan wanita di luar pernikahan, tapi film itu buah
dari cara berpikirnya dan persetujuannya atas sebuah hal.
Keberhasilan Terbesar Orangtua
Hei, kamu tuh adegan film aja dinyinyirin.
Selintas, komentar semacam ini muncul dalam benak saya. Namun kemudian ada yang
menimpali, bila nilai sebuah film saja begitu meresahkan, bagaimana dengan
rencana mengirim Ririn ke Turki? Bagaimanapun megahnya sejarah kejayaan Islam
di negeri Eurasia itu pada masa lalu, tetap itu sudah tertinggal. Hari ini,
kenyataanya, perjuangan Erdogan belum berhasil untuk mengenakan jubah Islam itu
lagi ke tubuh Turki. Lagian anakmu ini perempuan, sudah benar tuntunan Islam
dia boleh ke luar dengan mahram kecuali sesuatu sangat darurat yang harus dia
lakukan sendiri.
Bisikan-bisikan itu membuat saya
berselancar menyelami Turki.
“Negara seharusnya punya jarak yang sama dari
semua keyakinan agama.” Kalimat Erdogan ini akan sangat mudah ditemui di
internet sebab banyak media melansirnya. Biarpun mungkin itu hanya ucapan bibir
belaka sebab tak ingin kondisi sosial-politik Turki digoyang oleh 3 pengawal fanatiknya
(militer, MK dan universitas), tetap ini mengerikan. Kita bersyukur Erdogan
mampu mengembalikan jilbab ke beberapa institusi Negara termasuk kampus. Tapi LGBT
masih tetap legal dan akan terus legal atas nama HAM.
Saya tersadar. Jangankan jauh ke Turki,
beberapa tahun lalu saja ketika teman yang tinggal di Jogja mengabarkan bahwa Jogja
sekarang semakin buas, living together semakin bebas, saya sudah sangat ngeri
membayangkannya. Padahal kita ini hidup di Negara yang masih menganut prinsip
dan nilai-nilai saling ingat-mengingatkan. Lha, gimana dengan Turki yang
sekuler. Yang urusan gue jangan pernah lu campurin. Bubar!
Shock culture apalagi. Saya membaca postingan
mahasiswa Indonesia di Turki yang tahun pertama stress berat karena perbedaan
budaya, terutama soal pergaulan bebas yang dia nggak bisa masuk untuk sekadar
ngasi pendapatnya bahwa dia mual ngeliat teman bule-nya begituan di
hadapannya.
Allah. Apakah ini sudah cukup bagi saya untuk
menghentikan impian melempar Ririn belajar ke Turki?
Semestinya sudah. Sebab saya teringat nasehat Ust Khalid Basalamah, “Keberhasilan
terbesar orangtua bukan saat anaknya memakai toga, bukan saat anaknya
menjadi dokter atau apapun, melainkan saat orangtua berhasil mengantarkan
anaknya menuju pernikahan dengan kehormatan diri (kesucian) yang masih terjaga.”
Bila saya saja pernah merasa was-was ketika
membayangkan melepas Ririn ke Jogja, mengapa tidak dengan Turki bahkan ketika
bungkus mereka jelas demikian terbuka adanya. Untuk meyakinkan hati, pada
akhirnya saya bertanya kepada teman yang pernah ke Turki.
Jawaban itu, Alhamdulillah
mengokohkan keputusan: belajar ke Turki atau ke manapun negeri yang jauh bagi
Ririn, boleh, tapi nanti setelah saya meraih keberhasilan terbesar saya sebagai
orangtua.
Yah, Alhamdulillah. Begini terasa melegakan ^_^
Petang, 170119
Terimakasih atas pertolonganMu, duhai 'alim...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.