Laman

Minggu, 08 Agustus 2021

Ho'oponopono

 Dia menunggu-nunggu ho’oponoponomu tanpa bisa tertib pikiran barang sebentar. Sudah capek kukatakan, berhentilah overthinking, tapi kau tahu, dia memang payah begitu. Berhari-hari dia menunggu, sampai putus asa dan asa itu tersambung kembali lalu putus lagi. Kalau kau bisa melihatnya seperti aku melihatnya, kuyakin kau akan sepakat, penyakit mentalnya akan lama sembuh.

“Hei, jangan bilang dia sakit mental.”

“Kenapa? Bukannya dia yang bilang padamu bahwa dia memiliki sakit mental?”

“Ya tapi janganlah begitu.”

“Ah. Kaupun sama saja sakit mentalnya.”

“Lebih baik begitu. Biar aku yang kausebut sakit mental itu. Jangan dia.”

Sekarang, akupun rasanya jengkel terhadap kalian berdua.

“Tadi, kau akan cerita apa tentang dia?”

Ah ya, setelah berhari-hari dia macam orang gila menunggu ho’oponopono versimu, dan akhirnya menyerah, petang ini dia tiba-tiba merasa gembira.

Kau ingat tidak? Saat kau sedang melukis sebuah gambar hampir dua tahun lalu, dia bilang dia semacam memiliki perasaan tak enak yang tak bisa pas dia sebutkan jenis perasaan tak enak itu apa kepadamu atas lukisanmu itu. Yang jelas, diam-diam dia berharap, kau tak usah menyelesaikan gambar itu. Tapi dasar kau, kau kan juga keras kepala, lukisan itu tak hanya kau selesaikan, tapi kau juga memajangnya di dinding ruang tamumu. Hancur hatinya setiap kali melihat itu. Meski di mulutnya, “Ah tidak apa-apa.” Astaga. Aku berpikir keras hikmah apa dibalik keberadaanku di antara kalian yang begitu rumitnya. Apa yang bisa kulakukan untuk kalian? Astaga sekali kalian ini.

“Lanjutkan. Jadi tadi kenapa dia tiba-tiba gembira?”

“Dia datang ke rumahmu saat kau tak ada. Dan rupanya, dia sudah tak melihat lukisan itu lagi. Segala puji-pujian dia haturkan kepada Tuhan. Terserah apa motifmu menurunkan lukisan itu pada akhirnya, dia sangat gembira.”

“Pantas saja dia mengucapkan terimakasih barusan tadi. Ketika kutanya terimakasih apa, katanya tak ada apa-apa, hanya tiba-tiba saja ingin berterimakasih. Jadi, apa sekarang pikirannya sudah bisa tertib?”

“Kuharap sudah. Kasihan dia jika berlarut-larut. Untung saja dia tadi datang ke tempatmu.”

“Ya sudah. Begitu saja kan?”

“Tunggu.”

“Apa lagi?”

“Buatlah ho’oponoponomu.”

“Kupikir dia tahu aku tak harus membuatnya.”

Ya. Kalian berdua memang sama rumit dan keraskepalanya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.