Laman

Jumat, 24 September 2021

Tinggal

 “Kau tampak masih bersemangat bahkan pada penghujung hari ketika orang-orang sudah menggeliat dari beban sepanjang hari.”

“Dan kau tampak sedang memasang umpan di kail.”

“Hei hei, jawabanmu menandakan kau sudah memakan umpanku bahkan sebelum kulempar itu ke dalam air.”

“Anggap saja aku sedang menyenangkan seorang pemancing kesepian.”

“Ahaha. Itu karena kau sendiri yang sedang mengembang. Ayolah, apa rasanya lega dia kembali datang dan mengatakan hal-hal absurd tapi membuatmu senang? Hei, kau bahkan mengirimkan fotomu begitu saja. Aku tahu, itu bukan kau yang terkendali.”

“Katakan aku salah.”

“Jangan terlalu cepat merajuk. Aku tak akan menyusahkanmu dengan hukuman benar salah.”

“Lalu untuk apa kau tiba-tiba memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol macam itu?”

“Aku? Konyol? Eh, jika tidak karenamu, aku pasti telah hidup damai bersamanya.”

“Sekarang kau benar-benar telah menghukumku dengan rasa bersalah.”

“Begini ya, aku memang ingin meninjumu pada kali pertama. Aku mengenalnya seumur hidupku. Dia kujaga seumur hidupku. Dia tak pernah melakukan apapun untuk niat mencuri perhatian siapapun bahkan meski satu-satunya hal yang dia harapkan untuk datang dalam kehidupannya adalah sebuah perhatian yang tulus. Dia tak pernah. Sama sekali tak pernah. Dia lewati seluruh musimnya dengan tabah. Sampai kau datang dan membuatnya mengerti bagaimana rasanya diperhatikan secara tulus itu. Sampai dia tak bisa berkata-kata lantaran terbius rasa haru oleh sikapmu yang begitu mencemaskannya.”

“Kenapa kau tak meninjuku sejak awal.”

“Itu kealfaanku.”

“Kau menyesal?”

“Seharusnya.”

“Aku malah tak suka melihatmu lunak seperti ini.”

“Itu karena satu hal.”

“Satu hal?”

“Betapapun dia hancur oleh perasaan yang tak tertanggungkan itu, tetapi itulah jalannya menuju kepada kemurnian. Tak ada hal paling mudah membawanya kembali kecuali setelah sedetik saja dia mengingatmu lalu hatinya disergap rindu yang harus digigitnya sampai pilu oleh kesunyiannya sendiri. Rasa tak berdaya membuatnya tersungkur sebagai insan yang tak memiliki apa-apa. Dia tulus kepada Tuhannya yang Maha Kuat pada titik paling tiada itu. Energi penghambaan dari rohani yang tersungkur itu sungguh tak ada tandingannya.”

“Sekarang, apa yang kau harap dariku?”

“Jika kakimu kuat melangkah, pergilah tanpa menoleh.”

“Jika tidak?”

“Jangan katakan kau memang tak pernah sanggup menjauh darinya.”

“Memang tak pernah bisa. Tak akan pernah bisa.”

“Itu apa? Cinta?”

“Lebih dari itu.”

“Oh dasar kau.”

“Apa? Aku memang tak pernah bisa pergi meski dia sendiri yang berlutut memohon. Sampai akhirnya dia sendiri yang pamit dan gantian aku mengemis-ngemis padanya untuk tetap tinggal. Tapi dia tetap pergi. Satu-satunya hal yang sanggup kulakukan adalah bertahan, menunggu kapanpun dia datang. Terserah kapanpun dia akan kembali menghilang, aku akan menunggunya datang lagi untuk mendapatkan kehilangan yang lebih panjang lagi. Apa menurutmu aku tak terlihat sebagai seseorang yang juga kuat berusaha?”

“Astaga keras kepalanya kau.”

“Sekarang kau sudah menyerah memasang umpan?”

“Entahlah.”

“Kau janganlah hilang arah. Kumohon jagalah dia. Ikuti kemana dia pergi. Genggam jemarinya, berikan kehangatan, alirkan kekuatan. Tak masalah seberapa jauh kalian pergi, tak masalah bahkan jika kalian tak kembali. Aku tetap akan di sini.”

“Itu janji?”

“Bukan.”

“Lalu?”

“Karena inilah satu-satunya cara paling mudah untukku merasa sebagai pendosa. Ketika semua orang menganggapku saleh, dan kupikir aku seorang yang saleh, dialah yang membawakan cermin kepadaku dan menampakkan betapa lusuh dan kotornya jubahku. Ternyata aku bukan siapa-siapa kecuali orang tolol yang berlumur dosa. Bagaimana aku bisa pergi dari orang yang telah membuatku sampai kepadaNya?”

Jari-jari hujan yang menguping percakapan kalian berbisik kepada jari-jari hujan yang lain, “Ya, memangnya bagaimana bisa?” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.