“Kau tampak masih bersemangat bahkan pada penghujung hari ketika orang-orang sudah menggeliat dari beban sepanjang hari.”
“Dan
kau tampak sedang memasang umpan di kail.”
“Hei
hei, jawabanmu menandakan kau sudah memakan umpanku bahkan sebelum kulempar itu
ke dalam air.”
“Anggap
saja aku sedang menyenangkan seorang pemancing kesepian.”
“Ahaha.
Itu karena kau sendiri yang sedang mengembang. Ayolah, apa rasanya lega dia
kembali datang dan mengatakan hal-hal absurd tapi membuatmu senang? Hei, kau
bahkan mengirimkan fotomu begitu saja. Aku tahu, itu bukan kau yang
terkendali.”
“Katakan
aku salah.”
“Jangan terlalu cepat merajuk. Aku tak akan menyusahkanmu dengan hukuman benar
salah.”
“Lalu
untuk apa kau tiba-tiba memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol
macam itu?”
“Aku?
Konyol? Eh, jika tidak karenamu, aku pasti telah hidup damai bersamanya.”
“Sekarang
kau benar-benar telah menghukumku dengan rasa bersalah.”
“Begini
ya, aku memang ingin meninjumu pada kali pertama. Aku mengenalnya seumur
hidupku. Dia kujaga seumur hidupku. Dia tak pernah melakukan apapun untuk niat
mencuri perhatian siapapun bahkan meski satu-satunya hal yang dia harapkan
untuk datang dalam kehidupannya adalah sebuah perhatian yang tulus. Dia tak
pernah. Sama sekali tak pernah. Dia lewati seluruh musimnya dengan tabah.
Sampai kau datang dan membuatnya mengerti bagaimana rasanya diperhatikan secara
tulus itu. Sampai dia tak bisa berkata-kata lantaran terbius rasa haru oleh
sikapmu yang begitu mencemaskannya.”
“Kenapa
kau tak meninjuku sejak awal.”
“Itu
kealfaanku.”
“Kau
menyesal?”
“Seharusnya.”
“Aku
malah tak suka melihatmu lunak seperti ini.”
“Itu
karena satu hal.”
“Satu
hal?”
“Betapapun
dia hancur oleh perasaan yang tak tertanggungkan itu, tetapi itulah jalannya
menuju kepada kemurnian. Tak ada hal paling mudah membawanya kembali kecuali
setelah sedetik saja dia mengingatmu lalu hatinya disergap rindu yang harus
digigitnya sampai pilu oleh kesunyiannya sendiri. Rasa tak berdaya membuatnya
tersungkur sebagai insan yang tak memiliki apa-apa. Dia tulus kepada Tuhannya
yang Maha Kuat pada titik paling tiada itu. Energi penghambaan dari
rohani yang tersungkur itu sungguh tak ada tandingannya.”
“Sekarang,
apa yang kau harap dariku?”
“Jika
kakimu kuat melangkah, pergilah tanpa menoleh.”
“Jika
tidak?”
“Jangan
katakan kau memang tak pernah sanggup menjauh darinya.”
“Memang
tak pernah bisa. Tak akan pernah bisa.”
“Itu
apa? Cinta?”
“Lebih
dari itu.”
“Oh
dasar kau.”
“Apa?
Aku memang tak pernah bisa pergi meski dia sendiri yang berlutut memohon. Sampai
akhirnya dia sendiri yang pamit dan gantian aku mengemis-ngemis padanya untuk
tetap tinggal. Tapi dia tetap pergi. Satu-satunya hal yang sanggup kulakukan
adalah bertahan, menunggu kapanpun dia datang. Terserah kapanpun dia akan
kembali menghilang, aku akan menunggunya datang lagi untuk mendapatkan kehilangan
yang lebih panjang lagi. Apa menurutmu aku tak terlihat sebagai seseorang yang
juga kuat berusaha?”
“Astaga
keras kepalanya kau.”
“Sekarang
kau sudah menyerah memasang umpan?”
“Entahlah.”
“Kau
janganlah hilang arah. Kumohon jagalah dia. Ikuti kemana dia pergi. Genggam
jemarinya, berikan kehangatan, alirkan kekuatan. Tak masalah seberapa jauh
kalian pergi, tak masalah bahkan jika kalian tak kembali. Aku tetap akan di
sini.”
“Itu
janji?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Karena
inilah satu-satunya cara paling mudah untukku merasa sebagai pendosa. Ketika
semua orang menganggapku saleh, dan kupikir aku seorang yang saleh, dialah yang
membawakan cermin kepadaku dan menampakkan betapa lusuh dan kotornya jubahku.
Ternyata aku bukan siapa-siapa kecuali orang tolol yang berlumur dosa.
Bagaimana aku bisa pergi dari orang yang telah membuatku sampai kepadaNya?”
Jari-jari
hujan yang menguping percakapan kalian berbisik kepada jari-jari hujan yang lain,
“Ya, memangnya bagaimana bisa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.