Kau datang tadi malam, menggenggam tangannya. Dia memandangmu tak percaya dan bertanya tentang sesuatu yang bodoh, “Apa kau marah?”
Aku hampir terbahak mendengar pertanyaannya. Bahkan,
di dalam mimpi pun, dia masih tetap membawa perasaan bahwa kau sedang marah
kepadanya.
“Lalu aku menjawab apa, tadi malam?”
“Memangnya, kau menjawab apa ketika dia bertanya
itu pada pertemuan kalian yang sesungguhnya?”
“Kujawab aku tidak marah.”
“Begitulah yang kudengar tadi malam.”
“Syukurlah setan tidak memanipulasi percakapan
di antara kami.”
“Kau bilang mimpi tadi malam itu buatan setan?”
“Tidaklah. Mimpi kan bisa saja bunga tidur,
hanya saja, dia itu bodoh sekali selalu menganggap orang lain marah kepadanya. Lagipula,
kalau orang lain marah kepadanya, memangnya kenapa? Dia toh tak harus
mendengarkan kemarahan setiap orang. Seperti Menteri Sosial yang kerap
marah-marah dan dia selalu tak ambil pusing ketika orang lain memarahi
kemarahannya. Begitulah seharusnya menjadi manusia itu.”
“Heh! Kau ceramah?”
“Ya, sekali-sekali. Biar dia tumbuh. Kuat. Tidak
cengeng.”
“Tapi dia kadung menangis tadi malam.”
“Kenapa?”
“Kau pikir kenapa?”
“Apa aku mengatakan sesuatu yang lain dan
menyakitinya tadi malam?”
“Kupikir, apapun yang kau katakan, akan terasa
menyakitkan untuknya.”
“Aku seburuk itu?”
“Sialnya, kau selalu istimewa untuknya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.